"Tunggu! Siapa yang menyuruhmu pergi?"
Aku memejamkan mata sejenak, berbalik dan mendapati mata sipit di balik kacamata berbingkai hitamnya menatapku tajam.
"Saya pikir kamu berhutang permintaan maaf." Ucap Pak Gavin.
"Maksud bapak?" Aku menatapnya tak mengerti.
Pria itu berdecak. "Kamu lupa dengan apa yang kamu lakukan padaku beberapa bulan lalu?"
Aku menelan ludah. Aku tahu saat ini Pak Gavin membahas insiden aku menendang kakinya di pernikahan Damar waktu itu. Apa dia ingin membalas dendam? Dia tidak akan memecatku gara-gara ini, kan?
"Gara-gara kamu aku harus periksa rontgen dan MRI di rumah sakit."
Ya Tuhan, ini tendanganku yang terlalu kuat macam tendangan Kapten Tsubasa, atau memang kakinya Pak Bos yang terlalu memble?
"Bapak serius?"
"Kenapa? Kamu tidak percaya?" Pak Gavin melotot tajam.
"Bukan itu, Pak. Hanya saja sulit dipercaya. Saya baru tahu kaki saya sekuat itu sampai bikin kaki bapak harus periksa rontgen."
"Kamu ngejek?"
"Bu..bukan gitu, pak." Jawabku tergagap.
Aku menghela nafas pasrah. Mau mendebat bagaimanapun aku akan tetap kalah. Karena Pak Gavin penguasa disini.
"Saya minta maaf, Pak. Untuk kesalahan saya waktu itu." Ucapku pada akhirnya, meskipun aku tidak menyesalinya sama sekali. Lagipula siapa yang akan percaya, hanya gara-gara ditendang pakai heels membuat kakinya harus dirontgen?
"Saya tidak butuh permintaan maaf kamu. Gak ada gunanya juga."
Terus maunya situ apa?!
Aku hanya bisa menggeram dalam hati. Sementara tanganku sudah gatal ingin melempar petasan di mulutnya.
Bunuh bos sendiri dosa gak sih?
Siapa tadi yang bilang aku berhutang permintaan maaf? Si boncabe, kan?
"Masih ada yang ingin kamu sampaikan?" Tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
"Tidak ada, Pak."
"Ya sudah. Kenapa masih disini? Saya banyak kerjaan."
Granat mana granat?
"Ya sudah, saya permisi pak."
Pak Gavin mengibaskan tangannya, mengisyaratkan aku untuk pergi.
Aku keluar dari ruangan direktur dengan perasaan dongkol setengah mati, hingga mengabaikan untuk menyapa Mbak Dinara yang duduk manis di mejanya.
Mungkin saat ini sudah keluar asap dari hidung dan telingaku.
***
Aku hanya bisa mendesah pasrah saat hujan deras mengguyur di saat jam pulang kerja. Aku merutuki betapa bodohnya otakku, padahal ibu sudah berkali-kali mengingatkanku untuk membawa payung, mengingat saat ini adalah musim hujan.
Tapi untunglah aku tidak sendiri, disampingku ada Rere yang juga hanya bisa pasrah saat hujan tak juga reda. Meskipun ada beberapa karyawan lain yang melakukan hal yang sama, menunggu di depan kantor, tapi aku belum mengenal mereka semua.
"Kurasa hujan reda masih lama, melihat awan yang begitu gelap." Ujar Rere yang kubalas dengan anggukan lemah.
"Kamu sendiri, kenapa masih disini? Bukannya kamu biasanya bawa motor?" Yang kutahu Rere selalu mengendarai motor maticnya saat bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUDDENLY IT'S LOVE
Literatura KobiecaBagaimana perasaanmu jika sahabat terdekatmu, yang paling mengerti dirimu, tempat kalian berbagi segala hal, ternyata mengandung janin dari kekasihmu sendiri? Andara merasakan sakit ketika Damar, kekasihnya selama dua tahun ini mengkhianatinya denga...