13

31.4K 3.1K 120
                                    

Semburat kemerahan mewarnai langit sore ini. Aku berjalan di trotoar, di antara jejeran para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya.

Setelah pertemuan singkatku dengan Renita di Fox n' Glow Cafe, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku butuh bertemu Kanaya untuk menumpahkan semua keresahan dalam hatiku. Lagipula aku kangen dengan gadis urakan itu. Untungnya jarak antara cafe dan apartemen Kanaya tidak terlalu jauh, hanya perlu berjalan kaki sekitar 20 menit untuk sampai kesana.

Langkahku berhenti di pinggir jalan, menunggu lampu penyeberangan yang masih berwarna merah. Kulirik arloji di tangan kiriku yang menunjukkan angka 17.35, seharusnya di jam ini Kanaya sedang bersantai di rumah atau mungkin sibuk memasak untuk makan malam.

Baguslah, aku akan membuat gadis itu jengkel dengan makan malam di rumahnya.

Lampu penyeberangan menyala hijau, aku mempercepat langkahku menyeberangi jalanan yang dipadati oleh kendaraan.

Hanya tinggal tiga langkah untuk sampai di seberang jalan saat aku merasakan sesuatu menghantam tubuh bagian kiriku diiringi bunyi decitan ban mobil yang direm mendadak. Aku terjatuh di atas aspal kasar, seketika kurasakan nyeri di sekujur tubuhku disusul rasa perih di bagian lutut dan siku tanganku.

Di sisa kekuatanku aku berusaha menoleh, sebuah mobil SUV warna hitam berhenti di depanku. Pintu mobil itu terbuka dan seorang laki-laki turun dari sana dengan tergesa, aku bisa melihat celana hitam dan sepatu derby yang dikenakannya.

Laki-laki itu menghampiriku. Sementara beberapa orang mulai berdatangan. Aku bisa mendengar orang-orang mencercanya dengan makian.

"Mbak tidak ap... kamu?!" Ekspresi panik dari laki-laki itu dalam sekejap digantikan dengan raut terkejut saat melihat wajahku.

"Pak Gavin?"

Aku tak kalah terkejut melihat seseorang yang menabrakku ternyata atasanku sendiri.

"Kamu bisa berdiri?" Tanyanya sambil meraih bahuku dan membantuku berdiri.

Aku mengangguk walaupun sebenarnya aku sedikit kesusahan untuk berdiri karena rasa nyeri di pergelangan kakiku. Sepertinya kakiku terkilir.

"Mas ini gimana sih bawa mobil, sudah tahu lampu merah, kenapa masih diterobos juga." Seru seorang ibu-ibu berdaster merah dengan tas jinjing berisi sayuran di tangannya.

"Iya bu, saya minta minta maaf, saya buru-buru tadi." Jawab Pak Gavin dengan kikuk. Maklum, yang dihadapinya saat ini adalah emak-emak berdaster, makhluk paling benar dan penguasa alam semesta.

"Meski buru-buru juga kudu ati-ati, mas. Untung si mbaknya gak papa, gimana kalau sampai luka parah?"

Ibu-ibu itu terus mengomeli Pak Gavin yang hanya ditanggapi laki-laki itu dengan anggukan dan senyum canggung. Sementara aku tertawa dalam hati mendengarnya. Si mulut boncabe kalah telak lawan emak-emak!

"Saya akan bawa dia ke rumah sakit, bu. Saya permisi." Ujar Pak Gavin.

"Ya sudah. Lain kali kalau bawa mobil hati-hati. Ini jalan punya orang banyak, bukan punya mbahmu." Ibu-ibu masih saja mengomel tanpa henti.

Pak Gavin memapahku yang berjalan tertatih dan membawaku masuk ke dalam mobilnya.

Mobil orang kaya memang beda ya? Selain empuk ada sensasi adem-ademnya gitu.

"Saya tidak perlu ke rumah sakit, pak. Ini hanya lecet, saya bisa mengobatinya sendiri di rumah." Ucapku. Padahal aku sendiri tidak yakin apa keadaanku memang benar baik-baik saja, rasanya seluruh tubuhku nyut-nyutan.

Pria itu tidak menggubris perkataanku. Malah kini ia terlihat mengutak-atik ponsel dan menempelkannya di telinga kanannya.

"Sayang, aku minta maaf. Sepertinya kita batal makan malam, ada sedikit insiden di jalan... Aku tidak apa-apa, kamu jangan khawatir, hmm?... Iya aku tahu, aku minta maaf. Jangan ngambek, nanti aku gemes... Iya, nanti malam aku ke apartemen kamu. Love you."

SUDDENLY IT'S LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang