18

29.2K 2.9K 135
                                    

Aku mengunyah sateku dalam diam, sambil sesekali melirik ke arah Pak Gavin yang juga sibuk memasukkan satu tusuk sate ke dalam mulutnya. Aku malas bicara, ujungnya aku sendiri yang sakit hati nantinya.

Pelajaran berharga ketika berbicara dengan Gavino Abraham adalah bicara seperlunya, sesingkat-singkatnya, jangan kepo dan hindari membuka percakapan lebih dulu kecuali terpaksa.

"Kenapa diem aja? Gak enak?" Tanya Pak Gavin dengan sebelah alis terangkat.

"Enak, Pak." Jawabku singkat.

"Jelas aja enak, orang dibayarin."

Tarik nafas, hembuskan...

Calm down, Andara... Pak Gavin hanyalah rombongan bebek yang sering lewat depan rumah nenek di desa. Berisik tapi segera berlalu.

Bahkan ketika aku sudah menerapkan metode menjawab dengan singkat, padat dan tidak jelas, masih saja salah. Jadi lebih baik diam. Bukankah orang mengatakan diam itu emas?

"Kamu sariawan?"

"Tidak, pak."

Alis si bos semakin berkerut mendengar jawaban singkat yang keluar dari mulutku.

"Kamu marah karena saya tidak ajak kamu makan di restoran mahal seperti yang kamu bilang tadi?"

Siapa juga yang mau makan di restoran mahal? Porsi cuma seuprit. Bukannya kenyang malah bikin melilit.

"Ibu saya bilang tidak boleh makan sambil bicara, Pak. Nanti jadi setan." Ucapku jelas ngawur.

Tidak usah repot-repot makan sambil bicara, laki-laki di depanku inilah wujud setan sesungguhnya.

"Kamu ngarang, ya?" Pak Gavin menatapku curiga.

Aku menggeleng. "Ibu saya bilang kalau orang kebanyakan bicara apalagi sambil makan, bisa cepet mati."

Pak Gavin memundurkan wajahnya menatapku penuh selidik, kedua alis tebalnya semakin berkerut. Dalam hati aku ingin tertawa melihat wajah penasarannya.

"Bapak percaya?" Tanyaku dengan senyum lebar yang tak bisa lagi kutahan.

"Kamu ngerjain saya?" Mata Pak Gavin melotot tajam.

Warning! Siaga satu.

Aku menelan ludah, mengatupkan bibir rapat-rapat. Dalam hati aku merutuki sifat jahil yang baru saja kuperbuat, terlebih kepada atasan.

"Andara?"

Seseorang memanggil namaku. Aku menoleh. Seorang wanita berdiri tak jauh dari meja kami.

Sang dewi penyelamat dari amukan banteng kalap.

"Tata?!" Pekikku langsung beranjak dan menghampiri gadis yang saat ini menunjukkan senyuman lebarnya.

Alia Rosita. Alih-alih dipanggil Alia atau Rosi, dia lebih suka orang memanggilnya dengan Tata. Lebih enteng katanya. Tata adalah teman sekaligus satu squad bergosip dan hangout di masa putih abu-abu.

Aku menghambur memeluk Tata. Masih dengan ekspresi tak percaya bisa melihat gadis ini lagi.

Aku tak pernah bertemu dengan Tata semenjak lulus SMA. Kedua orangtua Tata bercerai saat kami masih di kelas 2 SMA. Saat itu Tata memilih tinggal bersama ayahnya di Jakarta untuk sementara karena tidak ingin direpotkan dengan acara pindah sekolah. Jadi dia bertahan hingga kelulusan. Setelah lulus baru Tata menyusul ibunya pulang ke Palembang.

"Kapan balik dari Palembang?" Tanyaku.

"Udah lama, sih. Sebulanan."

"Gitu, ya. Gak ngabarin." Aku memicing menatapnya kesal. Tata terkekeh.

SUDDENLY IT'S LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang