KERINDUAN MEMBAWA MAUT
Karya Intan Syerully
Matahari dengan garang memancarkan sinarnya yang tak terkalahkan memaksa keringatku keluar tanpa harus kuperintah. Mukenah musholla Al-Badr yang tak terlalu tebal segera kutanggalkan usai melaksanakan sholat Duha'. Kuarahkan pandanganku ke luar musholla. Terlihat guru bahasa Inggrisku berjalan melintasi depan musholla.
"Assalamu'alaikum..." segera kusapa guruku yang terkenal humoris itu sebelum beliau berlalu. Lekat terekam dalam otak kecilku tulisan yang terpampang di beberapa dinding madrasah. 'BUDAYAKAN 3S! Salam, Senyum, Sapa!'
"Wa'alaikumussalam... eh, Bi? What are doing there alone?"1
"Meet my Allah sir"2
"Your Allah?"3
"Hehe, just kidding... our Allah exactly, our best!"4
"Haha... okay-okay! Well... I must teach now"5
"Okay, see you!"6, obrolan singkat namun cukup membuatku melupakan ketidaknyamanan yang sebelumnya kurasakan karena keringatku yang mulai membasahi kerudungku. Kulangkahkan kakiku menuju kelas. Dari jauh sudah terlihat jelas tulisan di atasnya menunjukkan identitasnya, XII SCIENCE-1. Kusunggingkan senyum melihatnya. Tulisan tanganku sendiri yang ditulis dengan terburu-buru beberapa menit sebelum penilaian lomba kebersihan kelas satu bulan lalu. "Kelasku sang juara!" kalimat kagumku terlisankan kembali. Kelasku yang meraih juara pertama dalam lomba kebersihan kelas membuatku dan teman-teman sekelasku bangga. Namun karena gelar juara itulah kami harus lebih serius lagi menjaga kebersihan dan kerapiannya.
Kerinduan Membawa Maut
Pintu kelasku tertutup. "Mungkin guru sudah ada di dalam", batinku. Kupercepat langkah kakiku. Sesampai di depan pintu, kutekan gagang pintu dengan segera sambil kuucapkan salam. Ah, Alhamdulillah dugaanku tidak tepat. Tidak ada guru di dalam sana. Beberapa bangku juga belum ditempati pemiliknya. "Syukurlah..."
*
All lessons was ended for today. See you next time and have a nice day!!7
Bel yang ditunggu-tunggu beberapa siswa yang sudah bosan di madrasah berbunyi sudah. Jeda beberapa detik saja sudah terlihat para siswa berhamburan keluar kelas. Suara mesin motor di parkiran bawah kelasku membuatku sedikit tergangu. Aku masih membetahkan diri di atas bangkuku memindahkan catatan yang memadat di papan tulis bak segerombolan semut yang berbaris rapi.
"Liqo' kan ukh?" kupastikan teman satu halaqohku untuk menghadiri liqo' kali ini yang terlihat tengah mengemas-ngemas isi tasnya.
"Tidak bisa ukh, 'afwan!"
Kuhelas napas panjang mendengar jawabannya. Jawaban yang tak kuharapkan. Ada sedikit kecewa menyeruak di batinku sebagai ketua halaqoh. Tiap kali liqo', anggota yang hadir selalu berkurang. Aku mulai malu menyampaikan alasan yang menurutku tidak pas untuk dijadikan alasan ketidakhadiran mereka jika ditanya murobbiyah. "Ah mbak... alasan apalagi yang harus Biona berikan kali ini?", kutarik napas panjang untuk kedua kalinya sambil kulangkahkan kaki yang mulai terasa berat. Keramik-keramik coklat yang kuinjak satu persatu tanpa permisi menghantarkanku sampai ke depan musholla. Aku terus memutar otak untuk bisa menemukan cara agar liqo' kami ramai kembali. Sia-sia! Tak ada ide termunculkan.
Panas semakin menjadi. Menusuk-nusuk kulitku yang dibasahi keringat. Musim kemarau masih jauh. Namun panas matahari terasa melebihi saat musim kemarau. Perasaanku menjadi gusar dibuatnya. "Alam sudah mulai enggan bersahabat dengan penduduk bumi", gumamku. Tak ingin menunggu lama, usai liqo' kupakaikan kepalaku helm dan kutunggangi Beat biru yang dibelikan kakakku. Segera kukendarai motor itu menuju rumah. Hanya dalam waktu belasan menit saja gubuk bercat hijau muda sudah dapat terlihat, rumahku. Rumah tempat merajut cita-cita dan cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Teenegers
Short StoryAku termotivasi dari seorang penulis sekaligus artis yang menginspirasi seperti Boy Candra, Maudy Ayunda, Febby Ristanty, motivasi saya untuk membuat cerita untuk seeorang yang ingin ku ceritakan disini tapi aku samarkan identitas asli, yang ku ceri...