ZEVA POV
Aku membuka mata, dan satu hal yang kudapati adalah langit-langit kamar yang berwarna cerah. Mataku memburam disertai pening yang luar biasa selama beberapa detik. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba mengingat apa yang telah terjadi sehingga saat ini aku terbaring lemah. Pikiranku melayang pada kejadian aku tenggelam di kolam renang. Apakah aku masih hidup?
Teringat oleh kejadian itu, aku kembali merasakan takut, panik yang luar biasa. Tiba-tiba aku merasakan asmaku kambuh kembali. Napasku kembali tercekat, dadaku terasa semakin sesak. Rasanya di ruangan ini sudah tak ada udara lagi.
"Zeva!" Aku mendengar suara Risya. Dia berlari ke arahku dan memberiku inhaler. Sejak saat itu aku sadar bahwa aku masih hidup. Aku langsung meraihnya dan langsung menggunakannya. Risya memegang punggungku supaya aku bisa duduk dengan tegak.
Meskipun sudah memakai inhaler, rasa sesak yang ada di dadaku tak kunjung hilang. Sebulir air mata meluncur begitu saja di bola mataku. Rasanya begitu sakit. Risya mengusap-usap punggungku dengan perlahan, membuatku merasakan sedikit ketenangan. Setelah beberapa saat, akhirnya pernapasanku mulai teratur.
Aku melepaskan inhaler lalu bernapas dengan pelan dan teratur.
"Apa masih sakit?" Tanya Risya. Aku menggeleng pelan meskipun saat ini aku masih merasakan pusing. Setelah itu aku malah menangis, air mataku mengalir dengan derasnya. Risya memelukku sembari mengusap bahuku. "Nggak papa, Zev. Lo udah baik-baik aja." Tetap saja, bayangan itu kembali menghantuiku. Bahkan rasa sesak dan sakit itu masih terasa jelas di dalam benakku. Aku baru saja tersadar bahwa aku baru saja lolos dari maut.
Alhamduillah, Allah masih kasih kesempatan buatku untuk hidup di dunia ini. Aku mengusap air mataku. Kalau aku terus membiarkan diriku menangis, bisa saja asmaku kambuh lagi dengan parahnya.
"Ya Allah, gue nggak percaya kalau gue barusan menghadapi maut." Risya Mengusap bahuku lagi. "Sakit banget, Sya," kataku lirih.
"Lo kuat, Zev. Nyatanya sekarang lo udah aman di sini. Mending lo rebahan aja kalau masih lemes. Rileks in aja, oke?" Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan dan menyadari kalau kini aku tengah berada di dalam kamar rumah sakit. Setelah itu aku merebahkan tubuhku di tempat tidur lagi.
"Gue udah bilang bokap sama nyokap lo kalau lo masuk rumah sakit," kata Risya. Aku menoleh ke arahnya dengan penuh tanya.
"Lo bilang ke bokap sama nyokap gue?" Risya mengangguk. Aku lantas memijit kepalaku sendiri. Kalau tahu aku masuk rumah sakit, mereka pasti heboh dan panik.
"Aduh, seharusnya lo nggak usah bilang," kataku dengan tak tahu diri malah menyalahkan Risya.
"Ya gue panik dong!" balasnya. "Dan siang nanti katanya mereka bakalan balik ke Indo."
"For sure?" Saat ini aku harus bilang pada papa dan mama, bahwa aku sudah baikan dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Mereka nggak perlu repot balik ke Indonesia, lagi pula aku sudah baikan. Aku menelpon mama dan berdebat untuk sebentar, dan akhirnya aku menang. Mereka membatalkan kepulangannya siang nanti.
"Berapa lama gue pingsan?"
"Satu setengah jam, mungkin?"
"Apa?!" Aku spontan menoleh ke arah jam dinding. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. "Selama itu?" Satu setengah jam bukanlah waktu yang singkat. Selama itu kah aku pingsan?
"Iya, gue sampe bosen nunggunya."
"Aduh. Ya ampun, sorry ya, Sya. Makasih juga. Kalau nggak ada lo mungkin sekarang gue udah mati."
"Ish, mulut lo!"
Oh iya! Ya ampun, aku baru ingat kalau tadi pagi Mandala Architeam mengirimiku sebuah e-mail. Aku bergegas menghidupkan ponselku lalu lekas membuka pesan masuk di e-mail.

KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
ChickLitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...