ZEVA POV
Mengherankan. Sungguh mengherankan. Bukannya terkejut akan perkataan Alba yang lebih terdengar seperti perkataan orang mabuk, aku malah menarik kedua ujung bibirku: tersenyum. Iya, tersenyum aneh seperti orang konyol. Demi apapun, aku malah tersenyum sembari menatap sesosok laki-laki yang Alba panggil dengan sebutan 'Pa' ini.
Akal sehatku, kamu ke mana?!
Lihat aja, Alba bakalan mati di tanganku setelah ini.
Aku menjabat tangan laki-laki di depanku ini, memperkenalkan diri. "Saya Zeva, Om."
Ayah Alba tersenyum membalas jabatan tanganku. "Ohh iya. Saya ayahnya Alba. Ngomong-ngomong, saya nggak punya banyak waktu, tapi kalau hanya untuk berbincang sebentar, sepertinya nggak jadi masalah, mari masuk," kata beliau. Memang penampilannya sudah seperti hendak menghadiri acara penting. Setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya aku pernah melihat beliau, tapi di mana ya?
Memasuki rumahnya, aku menyenggol lengan Alba sembari menatapnya dengan tajam mengisyaratkan, 'apa-apaan ini?!'. Namun laki-laki itu malah balas menatapku dengan tatapan datar tak merasa bersalah. "Help me," katanya dengan sangat lirih. Whahaha? Help? Dia gila, ya?
Kini kami bertiga sudah berada di ruang tamu rumahnya. Sebelum membuka suara, kami sempat saling tatap dengan suasana yang sangat canggung. Sekilas, setelah dilihat-lihat lagi, laki-laki di depanku ini memang mirip sekali dengan Alba. Postur tubuhnya masih terlihat oke banget walau udah punya anak se tua Alba. Rambutnya enggak kalah sama eksekutif muda zaman now.
"Nak Zeva, Alba bilang apa ke kamu sampai-sampai kamu mau diajak ke sini?" Tanya beliau tanpa basa-basi, berhasil membuatku melongo tak percaya.
Belum juga aku berhasil berpikir dengan jernih, tiba-tiba Alba menggenggam jemari tanganku dengan erat. Jemari kami bertautan satu sama lain. Entah mengapa tangan kami terasa sangat pas saling bertaut.
Rasanya aku sudah nggak tahu sebenarnya aku ini ada di dunia mana dan di situasi seperti apa, karena semuanya terasa sangat aneh dan janggal. Bahkan bisa-bisanya kurasakan pipiku menghangat seiring dengan detak jantungku yang nggak berirama. Jangan bilang aku blushing hanya karena si laki-laki mulut sampah ini menggenggam tanganku seenak kemauan dia?
Ya Allah, apakah ini adalah salah satu efek terlalu lama kekurangan sentuhan pria?
"Pa...," Alba lalu menimpali cepat-cepat setelah dia menautkan jemarinya pada jemariku dengan sigapnya.
Aku menatap Alba sekilas lalu kembali menatap ayahnya. "Saya--"
"Kami sudah serius, Pa," potong Alba dengan cepat sebelum aku berhasil mengutarakan kebenaran yang ada. Aku mau bilang kalau aku hanyalah korban paksaan dia, dan kami bukanlah sepasang kekasih, tapi mulut Alba ternyata lebih gesit dari yang kukira. Membayangkan aku menjadi kekasih laki-laki bermulut sampah nan gesit ini saja sudah bisa bikin kepalaku berdenyut.
Ayah Alba malah tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku semakin bingung saja. Situasi ini benar-benar nggak mengenakkan. Haruskah aku mengaku kalau kami bukanlah sepasang kekasih? Atau mengikuti skenario drama yang Alba buat?
"Kamu benar-benar nggak dipaksa?" Tanya beliau lagi. Pada akhirnya aku memilih untuk menggeleng. Aku memilih untuk membantu Alba, hitung-hitung balas budi.
"Pa, cukup. Jangan mempermalukanku di depannya. Aku udah memenuhi apa yang papa mau, kami sudah serius," ujar Alba. Ekspresi wajah Alba sangat kaku dan serius.
"Sudah berapa lama kalian berhubungan?"
"Belum lama, Pa. Tapi kami serius dengan hubungan kami." Aku hanya bisa menatap kedua laki-laki ini bergantian. Ingin menyangkal, tapi kasihan juga si Alba. Tapi semakin dibiarkan, kok omongan dia semakin melantur saja?!
![](https://img.wattpad.com/cover/128461336-288-k967763.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
Chick-LitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...