AUTHOR POV
Sesampainya di apartemen, Alba dan Zeva langsung turun dari mobil lalu berjalan beriringan menuju unit mereka masing-masing. Tak ada kata atau kalimat yang terucap dari bibir keduanya. Mereka sama-sama diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sampai akhirnya keduanya tiba di depan unit mereka, berdiri berhadapan saling menatap. Alba berusaha keras membaca sesuatu dari manik mata indah milik perempuan itu, namun ia gagal. Bahkan hanya untuk sekedar membaca ekspresi wajah perempuan di depannya ini, dia tidak bisa.
"What if I say no?" Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari bibir Zeva. Alba sedikit terkejut saat mendengar pertanyaan itu.
Zeva sendiri pun tak tau darimana pertanyaan tersebut bisa keluar dari mulutnya? Apakah dari dalam lubuk hatinya, dia gundah? Tidak yakin? Pikirannya berkecamuk. Dia hanya sedang terlalu banyak pikiran, dan ajakan menikah dari Alba membuat pikirannya semakin penuh. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba laki-laki yang ia rindukan belakangan ini mengajaknya menikah. Tanpa ada basa-basi, tanpa ada ungkapan perasaan terlebih dahulu. Perempuan mana yang tidak terkejut?
"Hmm," Alba menggeleng pelan, "You will say yes."
"Haa? Kok pede banget?" Zeva mengerutkan dahi.
"Haha? Saya pede banget ya?"
"What if I say no?" Tanya Zeva sekali lagi.
"Saya akan terus nanya sampai kamu bilang iya."
Zeva tersenyum. "What a silly answer." Zeva tersenyum masam.
"Mau itu jawabannya iya ataupun enggak, saya akan terima dan saya hargai keputusan kamu karena ini bukan keputusan yang mudah. Kalaupun jawabannya enggak, kemungkinannya hanya ada dua: Allah memang nggak menghendaki, atau saya harus berusaha lebih keras untuk kamu." Alba berhenti sejenak lalu melanjutkan, "Tapi coba dengerin saya dulu. Saya paham kalau kamu merasa ini terlalu cepat buat kamu, terlalu mendadak. Saya kasih kebebasan buat kamu mau jawab kapan. Atau kamu mau kita lebih saling mengenal dulu, biar kita lebih dekat dan tau diri kita satu sama lain? Biar kita tau visi misi kita untuk masa depan nanti? Gitu bagus sih, kita bisa melakukannya. Tapi apa kamu nggak masalah kalau setelah ini kita bakalan jarang ketemu? Apa kamu nggak masalah kalau semisal saya susah cari waktu buat proses pengenalan ini? Karena mungkin beberapa minggu setelah ini saya agak lebih sibuk dari biasanya."
Begitu Alba selesai berbicara, perlahan Zeva mendekat ke tubuh Alba lalu memeluknya. Zeva nggak tahan. Tampaknya dia sangat merindukan laki-laki di depannya ini. Nggak ada yang Zeva ingin lakukan selain memeluk tubuh laki-laki yang ternyata sangat ia rindukan.
"Panjang banget sih kalimatnya. Lagi pidato, ya?" Zeva menopangkan dagunya pada pundak Alba. Anggap saja hal ini Zeva lakukan untuk mengurangi rasa gundahnya sekaligus melepas rindu pada Alba, tapi pakai versi yang lebih berani. Who cares? Alba daritadi cuma banyak bicara. Dan sebuah pelukan mungkin cukup untuk mengurangi rasa kangen dia untuk Alba seminggu terakhir ini.
Jangan tanyakan perasaan Alba. Saat ini jantungnya berdetak cukup cepat dengan desiran darah yang cukup mengejutkannya. Alba sendiri sudah lupa kapan terakhir kali dia merasakan hal ini. The desire. Lust. Feelings. Peaceful.
Perlahan Alba merengkuh tubuh Zeva. Senyum laki-laki itu muncul seketika. Alba tersenyum simpul. Dengan senang hati laki-laki itu membalas pelukan dari Zeva. Radar milik Alba menangkap sinyal positif yang Zeva berikan untuknya.
"Hari-hari biasa aja udah sibuk, ini mau lebih sibuk lagi ya?" Zeva bertanya.
"Iya, makanya saya bilang di awal supaya kamu nggak kaget kalau nantinya kamu merasa kalau proses kita untuk saling mengenal jadi kurang intens," balas Alba. Zeva melonggarkan pelukannya lalu menatap Alba lamat-lamat. Keduanya berdiri saling bertatapan dengan jarak yang cukup dekat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
Romanzi rosa / ChickLitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...