Chapter 17

41.7K 4.9K 222
                                        

Setelah cukup lama Zeva tenggelam di bahu Alba, perempuan itu menarik diri. Ditatapnya laki-laki yang tengah berdiri di depannya saat ini. Ada gelenyar tak biasa yang Zeva rasakan ketika tangan Alba menangkup wajahnya untuk sekilas, lalu mengusap air matanya. Ketulusan itu. Ia bisa merasakan ketulusan dari sentuhan Alba juga dari sorot matanya yang hangat.

Di sisi lain, dari lubuk hatinya yang paling dalam, Alba paling tidak bisa melihat perempuan menangis. Apalagi perempuan itu adalah Zeva, perempuan yang Alba akui, akhir-akhir ini berhasil mengusik pikirannya. Walau dia tidak memikirkan hal itu lebih jauh, namun tetap saja keinginan untuk menghentikan tangisan itu semakin besar.

Saat ini keduanya memutuskan untuk memasuki unit Alba. Bukan keduanya, tapi lebih tepatnya Alba sendiri yang memutuskan. Zeva terlihat masih sangat shock dan tak menolak ketika Alba membawanya masuk ke dalam unit laki-laki itu.

Zeva masih tak habis pikir pada dirinya sendiri. Bahkan saat Alba menggenggam tangannya untuk memasuki unit, hatinya menghangat dan perasaan aneh itu semakin terasa. Saat tangan Alba melepas genggaman tangannya pun, ia masih bisa merasakan sisa genggaman tangan yang hangat dan sangat pas di tangannya itu.

Sedari tadi Zeva hanya menunduk sembari membawa segelas teh hangat di tangannya. Setelah membawa Zeva masuk, memang tadi Alba langsung membuat teh hangat untuk perempuan itu. Zeva berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis lagi. Jujur, ia sungguh terkejut dengan perlakuan yang ia dapatkan dari Ryan tadi.

Tapi ia juga kaget dengan perlakuan Alba yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Alba sangat tenang, dan tau persis apa yang akan dia lakukan. Laki-laki itu sukses memberikan ketenangan pada dirinya, tanpa berusaha keras. Simpel, tapi hangat sampai ke hati.

Alba meraih beberapa juntai rambut Zeva lalu menyelipkannya di belakang telinga perempuan itu karena sedari tadi Zeva hanya menunduk. Paras sendu yang tadinya sedikit tertutupi rambut, kini menjadi terlihat.

"Saya paham kamu kaget. Nggak papa kalau mau nangis, nggak usah ditahan," ucap Alba. Ia meraih posel yang ada di saku celananya. Laki-laki itu lalu mengetikkan sesuatu di benda pipih berwarna hitam tersebut.

Zeva mengembalikan posisi rambutnya seperti semula, menutupi wajahnya. "Biar gini aja, supaya saya kalau nangis enggak keliatan. Saya..., malu."

Alba malah tersenyum simpul melihat tingkah aneh perempuan di sampingnya ini. "Iya iya, saya nggak liat. Lagian malu kenapa sih. Bahkan saya udah pernah lihat wajah kamu baru bangun tidur banget."

Zeva mengangkat wajahnya yang sembab dan menatap Alba dengan tatapan horor. "Kok bapak jahat sih?"

Kedua alis Alba naik seketika, "Hah, jahat gimana? Uhm. Sorry. Saya kelewatan, ya?" Alba langsung merasa tidak enak jadinya, merasa kalau dia baru saja salah bicara. Suasana menjadi sedikit canggung. Zeva yang tadinya menahan tangis, kini justru hanya terdiam menahan kesal. Kini pikirannya malah mengingat kejadian saat ia tertidur di kamar Alba. Haishh, bikin malu aja kamu Zev! Zeva berteriak dalam hati. Kenapa sih hobi banget bikin malu diri sendiri!

Zeva langsung berdehem mencoba mengusir suasana canggung yang tiba-tiba menyergap. "Ih kok jadi canggung gini sih, nggak suka saya tuh." Alba menggaruk bagian belakang kepalanya yang nyatanya tidak gatal sedikitpun.

Alba memperbaiki posisi duduknya. "Besok kamu nggak usah berangkat kerja. Saya udah izinin ke Pak Surya."

Kedua alis Zeva menukik tajam, "Hah izin kenapa? Buat apa? Saya nggak kenapa-kenapa."

"Besok kamu istirahat aja."

"Ehh, sebentar, sebentar." Zeva meletakkan gelasnya di atas meja. Ia menatap Alba lekat-lekat. "Izin apa?"

InterlockingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang