ZEVA POV
Hari ini aku sudah resmi bekerja di Mandala Architeam selama satu minggu. Bukan sesuatu yang harus dirayakan, sih. Awalnya aku pikir bekerja di sini nggak akan sibuk-sibuk banget dan kerjanya bakalan santai, ternyata aku salah besar.
Saat ini aku tengah menyelesaikan dua rancangan yang harus kuselesaikan secepat mungkin. Satu dari Bang Beni, satu lagi dari Alba. Mana ada drafter yang pegang dua rancangan sekaligus dalam satu waktu kalau bukan di Mandala. Untung gajinya gede dan perusahaannya oke. Yah, sepadan lah.
Walaupun rancangan yang mereka berikan padaku bukan merupakan proyek besar, tapi tetap saja kalau dua rancangan sekaligus bisa bikin otak panas melulu.
Fokus ke monitor komputer, tangan kiriku mencoba menggaruk bagian punggungku yang gatal, sedangkan tanganku masih setia menggenggam mouse. Tiba-tiba telepon di sebelah komputer berdering. Aku meliriknya, melihat siapa yang menelponku. Ternyata nomor ekstensi milik Alba.
"Ya, hallo?"
"Rancangan saya udah selesai?" Tanya Alba langsung tanpa basa-basi atau sekedar membalas sapaanku. Aku mengerutkan dahi. Aku mencium bau-bau tidak sedap kalau Alba sudah menelpon secara tiba-tiba begini.
"Belum, Pak."
"Kenapa belum selesai juga?" Nada yang dia gunakan memang datar, tapi kenapa terasa sedikit nylekit ya. Seolah kalau aku ini mengerjakan rancangan miliknya kelewat deadline aja.
"Deadlinenya bukannya besok Kamis ya pak?"
"Tolong selesaikan cepat ya, surveyor minta besok pagi rancangan itu bisa dipresentasikan." Aku melotot sejadi-jadinya mendengar kalimat yang keluar dari mulut Alba barusan. Besok pagi?!
"Loh, gimana ceritanya Pak, rancangannya besok pagi udah jadi?" Aku mulai menggerutu. Gila ya dia? Dia memberiku deadline hari Kamis, dan sekarang lagi hari Selasa. Deadline yang dia berikan pun sudah kurasa tidak manusiawi, dan sekarang dia malah minta supaya besok pagi rancangannya sudah jadi.
"Padahal saya kira malah udah jadi dari kemarin. Pekerjaan seperti itu harusnya bisa jadi dalam dua hari, karena kamu hanya finishing saja."
"Kenapa mendadak begini?" Tanyaku.
"Karena mereka memberitahuku juga mendadak. Bisa kan, malam ini juga selesai sehingga besok bisa dipresentasikan?"
Aku menghela napas. "Saya nggak yakin, Pak." Alba tidak menyahuti omonganku. Terjadi keheningan beberapa detik.
"Saya nggak tahu sistem kerja kamu seminggu ini seperti apa, kok bikin seperti itu saja lama sekali."
Aku memutar bola mataku. "Maaf, Pak. Bukannya apa-apa, masalahnya saya pegang rancangannya Bang Beni juga."
"Itu bukan urusan saya," jawabnya cepat. Kelima jari tangan kiriku mulai mengepal. Untung Alba lagi tidak ada di depanku. Kalau iya, mungkin saja tanganku sudah mendaratkan satu tinjuan di wajahnya. MasyaAllah. Astaghfirullahalladzim, ini aku harus banyak-banyak nyebut kayaknya.
"Kalau kamu memang nggak sanggup, bilang. Biar saya carikan orang lain yang siap menyelesaikan pekerjaan kamu itu. Tapi setelah itu saya nggak jamin bagaimana karir kamu di Mandala."
Aku memijit kepalaku berusaha meredakan pening yang tiba-tiba mendera karena kediktatoran arsitek satu ini. Kami ini statusnya sama-sama pegawai, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Ya ampun, tapi dia bertindak seolah dia ini pemilik Mandala dan aku adalah bawahannya.
"Iya," balasku singkat. Iyain aja biar cepat, yakan?
"Iya apa?"
"Iya, Pak. Saya sanggup." Puas? Kataku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
ChickLitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...