"Kamu, nggak bisa singgah lebih lama?"
Zeva menaikkan kedua alisnya, memastikan kalau-kalau ia salah dengar. Sebelum Zeva berhasil merespon, Alba sudah dulu meralat perkataannya barusan. "Maksud saya, makasih banyak sekali lagi. Sorry saya udah ngerepotin kamu." Kali ini suara Alba terdengar lebih tegas.
Zeva tertegun, mungkin ia hanya salah dengar. Lalu ia tersenyum, "Sama-sama, Pak, itulah gunanya tetangga. Anyway, semoga cepat sembuh." Keduanya mengangguk pelan dengan sedikit canggung. Zeva pun kembali melanjutkan langkah sampai terdengar suara pintu tertutup, membuat perempuan itu hilang dari pandangan Alba.
Sedangkan saat ini Alba tengah duduk termenung, mempertanyakan dirinya sendiri. Mempertanyakan mengapa ia bisa berkata seperti tadi? Meminta Zeva untuk singgah lebih lama? Hah, maksudnya apa? Alba mengacak rambutnya yang sudah setengah kering dengan frustasi.
Benar, pening yang tengah ia alami rupanya sedikit mengganggu cara kerja otaknya. Tak hanya itu, kini ia merasa panas dingin secara tiba-tiba.
"Memintanya untuk singgah di sini lebih lama? Hah, ngapain juga?" Alba mengomel. Dia adalah tipikal orang yang tak sembarang berbicara, dalam artian ia akan berbicara sesuai dengan perintah otaknya. Dipikirkan, dirasakan, diolah oleh otak, baru akan keluar dalam bentuk omongan. Tapi tadi, rasanya ia telah hilang kendali atas dirinya sendiri. Bahkan rasa malu yang alami masih terasa sampai sekarang, atau parahnya terasa sampai besok-besok kalau teringat kejadian ini. Selain mempertanyakan dirinya sendiri, yang bisa ia lakukan hanyalah berharap semoga Zeva tak memikirkan perkataan konyolnya tadi.
Di sisi lain, setelah Zeva berhasil menutup pintu apartemen Alba, ia langsung termenung kaku di depan daun pintu. Bahkan apabila saja Alba membuka pintu tiba-tiba, ia akan terhempas begitu saja. Katakan bahwa pendengarannya tadi salah, namun tetap saja ia mendengar dengan jelas perkataan Alba yang memintanya untuk singgah lebih lama.
Hatinya tergelitik. Wajahnya menghangat tanpa ia sadari. Huuh, masa bodoh. Setelah meyakinkan dirinya bahwa dia hanya kecapekan lembur, ditambah 'mengurusi' tetangganya itu, ia buru-buru masuk ke unit apartemennya sendiri.
Sehabis keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri, Zeva segera membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Baru saja ia memejamkan mata barang tiga detik, ponselnya berdenting tanda ada sebuah pesan masuk.
Matanya memicing, sedikit tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. "Pak Alba?" gumamnya. Ada sebuah pesan LINE dari Alba yang menunggu untuk dibaca dan juga dibalas.
Albana Dio M: Sudah tidur?
Zeva merebahkan tubuhnya di tempat tidur lagi sembari menggigit bibirnya. Ia bahkan membaca pesan itu beberapa kali untuk memastikan bahwa itu memang pesan dari Alba.
Zevani Azkadina: Belum pak, gimana? Mau ke dokter?
Setelah beberapa menit pesan itu terkirim, laki-laki itu tak kunjung membaca pesan darinya. Zeva jadi gelisah sendiri. Jangan-jangan dia pingsan? Zeva mengacak rambutnya. Ponselnya kembali berbunyi.
Albana Dio M: Enggak, lagipula kalau saya mau, saya bisa panggil dokter pribadi saya ke sini.
Ih! Kok ngeselin!
Tapi, bener juga sih...
Zevani Azkadina: Ohh
Zeva hanya ber-oh ria tanpa berniat merespon dengan kalimat lain
Albana Dio M: Saya cuma mau bilang makasih sekali lagi, maaf juga udah ngerepotin kamu.
Zevani Azkadina: Iya, sama-sama pak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
ChickLitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...