ZEVA POV
Presentasi berlangsung dengan sangat baik dan lancar semuanya berkat, Alba. Sampai saat ini aku belum menemukan celah sedikitpun untuk meragukan kemampuannya sebagai seorang arsitek. Bisa kubilang, dia itu, paket lengkap. Minus kepribadiannya yang kadang bikin orang lain senewen.
Aku yang notabene nggak begitu menguasai proyek ini karena memang dari awal pembuatan tidak terlibat, Alba bisa memahami, terlihat saat presentasi dengan surveyor tadi. Bahkan dialah yang menghandle semuanya, aku hanya berperan sedikit. Setidaknya kami saling bisa mensupport satu sama lain.
Setelah mengucapkan selamat tinggal, kami pun pamit dengan pihak surveyor. Hari sudah memasuki jam istirahat, waktunya makan siang. Perutku pun juga mulai memberontak minta diisi. Saat ini aku dan Alba tengah berada di perjalanan kembali ke kantor. Sepertinya dia nggak ada niatan untuk mengajakku makan siang bersama, jadi terpaksa aku harus menahan laparku sampai di kantor nanti.
Nggak ada obrolan selama kami berada di dalam mobil, membuatku merasa kikuk setengah mati berada di sebelahnya. Apa dia marah? Apa dia meragukan kompetensiku lagi? Apa dia nggak puas sama aku?
Bener-bener ya, aku nggak tahu harus bersikap seperti apa untuk menyikapi suasana seperti ini. Haruskah aku membuka obrolan dengannya? Akan sangat aneh kalau kami sama sama membisu sampai di kantor, sudah macam orang yang lagi bertengkar saja.
Berhenti di lampu merah, ponsel milik Alba berdering dan membuatku menoleh ke arahnya. Alba melihat ponselnya sebentar, menghela napas lalu membiarkan ponselnya berdering tanpa ia jawab. Ekspresi wajahnya juga berubah.
"Ehm." Aku berdehem kecil mencoba memulai pembicaraan. "Kok nggak diangkat teleponnya?" Tanyaku. Great, Zev, kamu salah membuka obrolan.
"Biar nanti aja saya yang telpon balik, soalnya ini lagi di jalan juga," katanya. Aku cuma mengangguk tanda mengerti, nggak mencoba buat cari-cari bahan obrolan lagi. Sepertinya dia ini memang irit banget buat bicara. Apa dia lagi banyak pikiran aja ya?
Kubuang pandanganku ke luar jendela, tidak ingin ketahuan kalau saat ini aku menaruh perhatian padanya. Ponselnya berdering lagi, namun Alba tak juga menerima panggilan itu. Sebenarnya aku penasaran sama siapa yang menelponnya sampai-sampai Alba mengabaikan begitu saja alih-alih menjawabnya. Lampu hijau menyala, mobil perlahan maju.
"Zeva...."
Aku menoleh, "Ya?"
"Makasih untuk pagi ini. Kamu udah bekerja keras," katanya. Bibirku refleks tertarik ke samping. Untuk beberapa saat aku nggak percaya dengan apa yang kudengar barusan, namun, aku senang. Dikit.
"Iya, Pak. Maaf kalau memang saya belum memenuhi ekspektasi Bapak. Saya akan berusaha lebih keras lagi," kataku. Ia hanya mengangguk.
"Saya ada janji siang ini, jadi maaf kita langsung balik ke kantor aja ya."
"Oh, iya, oke Pak," jawabku. Memangnya kalau nggak balik ke kantor mau kemana lagi? Kayak ada tujuan lain aja, hadeuh.
Akhirnya kami sampai di kantor setelah beberapa saat membelah jalanan kota.
"Maaf ya cuma bisa sampai sini, saya mau langsungan," kata Alba ketika menepikan mobil di depan kantor.
Aku melepas seatbelt. "Iya, nggak papa, Pak." Setelah itu aku keluar dari mobilnya.
"Saya duluan, ya. Terima kasih," katanya padaku. Sepertinya dia terlihat buru-buru.
"Iya. Hati-hati di jalan, Pak." Setelah itu mobilnya dengan kencang meninggalkanku yang masih berdiri di bawah terik matahari. Kok dia kelihatan terburu-buru begitu ya? Apa ada sangkut pautnya dengan telepon yang nggak diangkatnya tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
ChickLitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...