ZEVA POV
Kepalaku rasanya seperti terhantam oleh sesuatu yang sangat keras tapi tak kasat mata. Kini aku masih mencoba memulihkan kesadaranku, memastikan kalau aku memang nggak salah lihat.
Jadi, makhluk bernyawa berjenis kelamin laki-laki yang sedang berdiri di depanku ini memang Alba? Laki-laki itu?
Mata kami saling beradu. Aku kira, efek dunia yang terasa berhenti hanya ada di film-film atau drama saja. Tapi sekarang aku mengalaminya sendiri. Untuk beberapa detik ini, dunia seakan kehilangan waktunya dan aku seolah tenggelam di bola matanya.
Aku yakin saat ini wajahku sudah mulai memerah karena menahan perasaan yang kuidentifikasi sebagai rasa terkejut sekaligus malu. Kemarin-kemarin aku mencoba menghindari laki-laki ini, dan sekarang Tuhan malah mempertemukan kami lagi dengan cara seperti ini. Sia-sia sudah upayaku untuk menghindarinya.
"Kalian, sudah saling kenal ya?" Suara Bang Beni menginterupsi dunia kami yang kurasa telah berhenti beberapa saat.
"Nggak."
"Belum," ucapku dan ucapnya secara bersamaan. Fine, memang benar kok kalau kami ini nggak saling mengenal.
"Kalian menatap satu sama lain lama begitu, dan kayak sama-sama terkejut. Ya aku kira kalian ini sudah saling kenal...."
"Nggak, bang. Kami nggak saling kenal," jawab laki-laki itu dengan cepat. Dia terlihat nggak tertarik sama sekali. Yaiya juga sih, ngapain juga tertarik segala.
"Apa kalian jatuh cinta pada pandangan pertama? Hah? Masak begitu, apa iya? Ahahahah" Bang Beni terkekeh sambil melirikku dan Alba bergantian. Ya ampun Bang, please. Nggak ada yang lucu. Cinta pada pandangan pertama itu nggak ada di dunia ini, nggak ada. Dan lagipula ini juga udah pandangan kedua.
Alba tampak nggam menghiraukan Bang Beni. Dia memperpendek jarak di antara kami lalu menyodorkan tangannya padaku. Aku pun langsung menjabat tangannya.
"Saya Alba."
"Saya Zeva," kataku dengan sopan. Kalau dilihat secara dekat begini, umurnya sepertinya mungkin mendekati tiga puluh tahun kali ya? Penampilannya dengan waktu di kafe kala itu nggak jauh berbeda. Hanya saja sekarang lebih rapi ala orang kantoran pada umumnya. Dan juga, kemeja slimfit nya yang nggak fit-fit banget nempel di tubuhnya kelihatan pas banget. Nggak kurang dan nggak lebih.
"Bang kayaknya kita harus bicara. Sebentar aja," ucap Alba pada Bang Beni. Dia bahkan belum sempat duduk.
"Sebentar ya, dia ada perlu padaku. Kita tinggal ya, tunggu bentar ya," kata Bang Beni padaku dengan kedua alis yang naik turun lucu.
"Iya, Bang. Silakan."
Kemudian mereka beranjak dari kursi dan berjalan meninggalkanku. Wah, sungguh di luar dugaan. Aku masih nggak percaya kalau Alba akan menjadi mitra kerjaku untuk ke depannya. Pantas saja perasaanku nggak enak dari kemarin-kemarin.
"Apa benar dia drafter baru yang kemarin itu?" Samar-samar suara Alba terdengar sampai ke telingaku.
"Iya benar. Memangnya kenapa?" Tanya Bang Beni. Suara mereka masih terdengar olehku walaupun hanya samar-samar saja. Aku pun jadi fokus ke obrolan mereka. Maaf-maaf nih ya, tapi kali ini aku harus mendengarkan apa yang mereka bicarakan karena sepertinya ini bersangkutan denganku. Sia-sia juga sebenarnya kalau mereka pakai pergi segala toh aku masih bisa mendengarnya.
"Dia drafter yang seharusnya hari minggu kemarin datang, atau drafter baru lagi?" Suara Alba.
"Dia masih orang yang sama. Kenapa emang?" Kemudian hening. Aku pun menaikkan satu alisku penasaran. Mempertajam pendengaran, aku menunggu apa yang mereka katakan selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
Chick-LitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...