"Om Albaaaa!!! Adek nangessss!!!" Teriakan Elzhar dari ruang tengah spontan memaksa Alba dan Zeva untuk menjauhkan diri. Keduanya saling menatap, mengatur napas, menjernihkan pikiran untuk tahu apa yang baru saja mereka perbuat.
"Om Albaaa lama banget ngapain sih!!!" Elzhar tahu-tahu muncul di pantry. Zeva sedikit mendorong tubuh Alba yang nyatanya masih sangat dekat dengan miliknya.
"Ih, dek Anya kamu apain bisa sampe nangis kenceng begitu," ucap Zeva yang kini berjalan menjauh dari Alba, sembari menahan gugup yang mendera dan detak jantung yang tak karuan.
"El enggak tahu tante, tiba-tiba aja dia nangis," jawab Elzhar dengan raut wajah panik sekaligus khawatir.
Ketiganya sudah berada di ruang tengah. Ternyata alasan Anya menangis adalah karena gadis kecil itu baru selesai pup. Dan kini Zeva melakukan tugasnya dengan sangat baik dan sabar, yaitu membersihkan dan mengganti popok.
Tak ada suara yang keluar dari bibir Alba dan Zeva, kecuali racauan Elzhar yang sama sekali tak keduanya hiraukan. Suasana sangat kental oleh kata canggung. Zeva mengerang dalam hati. Ia membenci suasana ini. Ia membenci wajahnya yang kini terasa sangat panas.
Terlebih, ia membenci dengan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Alba. Pikiran Zeva tiba-tiba saja berkecamuk, berpikir kalau baru saja ia melakukan kesalahan yang sangat besar: membalas ciuman laki-laki itu. Bodoh, bodoh, bodoh!
"Zeva, saya boleh minta tolong lagi?" Suara Alba hampir saja membuatnya terkena serangan jantung.
Memberanikan diri, Zeva menatap laki-laki itu. "Minta tolong apa?"
"Saya sama Elzhar harus sholat Jumat nanti siang. Kamu bisa jagain Anya sebentar?"
"Iya," kata Zeva singkat sembari memalingkan wajahnya. Kini tatapan perempuan itu beralih ke Anya lagi. Bagaimana bisa gestur Alba terlihat sangat tenang seolah-olah tak ada yang barusan terjadi? Sedangkan Zeva, saat ini bahkan perempuan itu masih berusaha mengatur napasnya, sesekali menahan.
"Kamu nggak papa kalau mau balik buat istirahat," kata Alba lagi.
"Yaudah saya balik," balas Zeva cepat dan secepat angin berhembus perempuan itu berjalan pergi meninggalkan Alba dan kedua ponakannya. Bahkan pertanyaan Elzhar, "Tante mau kemana? Kok tante pergi? Yahh..," tak digubris sama sekali oleh Zeva. Saat ini Zeva hanya ingin menjauh dari laki-laki berbahaya bernama Alba.
Untuk saat ini ia aman di dalam unitnya. Setidaknya ia tak harus menyembunyikan gelagat aneh yang menyerang dirinya. Ya walaupun nanti siang mau tak mau ia harus menjaga Anya, tapi setidaknya ia tak harus berada di sekitar laki-laki itu.
Ponsel Zeva dari tadi berdenting oleh bunyi notifikasi yang tak kunjung diam. Banyak pesan masuk yang tak lain adalah rekan kerjanya, menanyakan kenapa izin, sakit apa, dan doa semoga cepat sembuh pun ia terima.
Matanya membelalak ketika teman-teman kantornya menodongnya dengan pertanyaan:
"Kok Pak Alba yang ngizinin elo?"
"Lo abis diapain sama Pak Alba?"
"Lo disakitin Pak Alba ya?"
"Lo utang penjelasan sm kita kita jep!!!"
"Tuh kan gue curiga lo ada apa-apa sama Pak Alba! Ngaku loo!!!"
Dan pernyataan-pernyataan aneh lain. Saat ini ia tak mau menjawab. Selain karena bingung hendak menjawab dengan alasan apa, pikirannya terasa penuh saat ini. Daripada menjawab tapi salah, lebih baik sekarang ia diam.
Masalah dengannya dengan Alba barusan rasanya enggak cukup. Kini muncul masalah baru: kalau teman sekantornya mencium sesuatu yang janggal antara dirinya dengan Alba. Memang sih dari awal ia tidak memberi tahu kalau ia dan Alba itu tinggal di satu gedung apartemen dan unit Alba terletak di depan unitnya. Satu-satunya yang tahu hanya Firda, dan sepertinya rahasianya masih aman. Niatnya cuma satu, ia menghindari rumor yang bisa mengenai siapa aja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
Chick-LitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...