Hallo, saya kembali.
Adakah yang masih menunggu aAlba dan Zeva? Hehe. Aku antara kaget sama heran, votes chapter sebelumnya bisa nyentuh 1,9k! Terima kasih!
Dan sabar, sabar, tahan.... Jangan marah-marah dulu karena updatenya lama banget. Jangan dihujat juga ya wkwk.
Selamat membaca♡
======♡♡♡======
AUTHOR POV
Zeva menyandarkan kepalanya menggunakan tangan kanannya. Komputernya masih menyala. Jam kerja sebentar lagi usai, namun entah mengapa pikirannya terasa penuh dan sesak. Dia suntuk, padahal akhir pekan sudah di depan mata dan kerjaannya juga sudah beres.
Akhir-akhir ini rekan kerjanya lagi pada heboh soal tempat tinggal Alba yang ternyata bersebelahan dengan Zeva. Hal itu terjadi karena Firda tak sengaja keceplosan bilang kalau Alba adalah tetangga sebelah Zeva.
Mengetahui kegaduhan itu, Zeva hanya klarifikasi singkat untuk menyangkal tuduhan menyembunyikan fakta tersebut. "Ya ampuun, gitu doang pada heboh lo semua," kata Zeva dengan santai. Padahal sih dari dalam dirinya, dia nggak santai-santai amat.
Hal yang sesungguhnya membuat dia suntuk akhir-akhir ini bukan gara-gara anak-anak kantor tahu kalau ia adalah tetangga seorang Albana Dio Mandala, tapi karena perlakuan laki-laki itu terhadap dirinya.
Sudah satu minggu berlalu setelah persetujuan singkat di mobil kala itu. Persetujuan dimana mereka sepakat untuk melupakan insiden pertemuan bibir mereka di unit Alba. Sudah hampir satu minggu pula mereka tak berjumpa. Alba sedang ada pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke Malaysia.
Tepat setelah persetujuan itu, keduanya bahkan tak ada komunikasi sama sekali. Bukan berarti Zeva mengharapkan something dari Alba, sih. Tapi Alba sepertinya serius mengiyakan persetujuan mereka.
Bahkan saat seminggu yang lalu dia berpapasan dengan Alba dan beberapa rekan kerja laki-laki itu, Alba tak memberikan sapaan padanya atau setidaknya sebuah senyuman, atau anggukan tipis seperti yang biasa Alba lakukan. Tidak ada. Hanya perasaan Zeva saja, atau dia hanya sedang sensitif?
Dihh, apaan sih, begitu batin Zeva tiap kali teringat Alba dan semua yang pernah mereka alami selama ini. Akhir-akhir ini Zeva juga sengaja menyibukkan diri selain urusan pekerjaan, misalnya baca novel, nonton film atau drama korea di apartemen, main ke rumah temannya, main hago, dan lain sebagainya. Tapi tetep aja, ujung-ujungnya dia teringat laki-laki itu. Menyedihkan? Begitulah kenyatannya.
Bahkan terkadang dia juga teringat ketika bibirnya dengan bibir Alba saling terpaut satu sama lain kala itu, sensasinya masih sangat terasa pada Zeva. Berjuta kupu-kupu seperti mengoyak perutnya, perasaan aneh yang bisa membuat pipinya memanas hanya karena teringat kejadian itu. Dan sekarang laki-laki itu seakan hilang di telan bumi, tanpa eksistensi, tanpa kabar.
Zeva kecewa. Zeva kecewa dengan dirinya sendiri karena telah gagal melupaan insiden itu, dan juga laki-laki itu. Dia mencoba biasa saja dan mejalani hidup seperti biasanya, tapi ia tidak bisa. Selalu ada laki-laki itu dalam pikirannya, dan dia membenci hal itu. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia gundah. Kenapa dia harus seperti ini? Apakah Alba juga merasakan hal yang sama seperti apa yang ia rasakan?
Nggak lah, nggak mungkin dia kepikiran kayak aku gini. Yang ada di kepalanya kan cuma kerjaan, batin Zeva.
Saat ini Zeva sudah berada di rumah yang ada di Bandung, rumah orang tuanya. Dia bela-belain nyetir mobil sendiri padahal badan lagi nggak begitu fit.
"Loh kamu kok tumben sih mau bantuin mama ngurus taneman," kata mamanya ketika Zeva ikutan membantu mamanya mengurus tanaman.
"Lagi suntuk, ma," begitu jawaban Zeva. Dia bukannya suntuk sih, dia lebih ke sebel sama dirinya sendiri karena kalau dia nggak ngapa-ngapain, pikiran dia pasti melayang-layang ke mana-mana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Interlocking
Chick-LitZeva tidak tahu ini semua salah siapa. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa terjerumus ke dalam kehidupan seorang Alba, arsitek bermulut tajam dengan kalimat-kalimat tegasnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata dia lah yang justru me...