Chapter 2

56.5K 5K 50
                                        

ZEVA POV

Hari berikutnya aku berencana untuk bertemu Risya dan menceritakan semua kejadian yang kualami kemarin. Siapa sangka justru dialah yang heboh ingin mengetahui apa yang terjadi antara aku dan Ryan. Aku juga tidak mengerti mengapa dia se antusias itu.

Sejak beberapa tahun terakhir aku tidak tinggal di Indonesia, aku menyadari kalau lingkup pertemananku sangat sempit. Aku mengenyam pendidikan S1 di Columbia University - Amerika, dan setelah lulus aku langsung memutuskan untuk bekerja di Singapura selama satu setengah tahun. Saat ini aku hanya memiliki beberapa teman dekat saja, salah satunya adalah Risya.

Aku memutuskan untuk resign dari kantor lamaku di Singapura karena berbagai macam alasan, tapi, salah satu alasan utamanya adalah karena aku ingin dekat dengan keluarga. Aku ingin pulang ke Indonesia, kembali, itu saja. Dan saat ini aku tengah memasukkan lamaran kerja ke beberapa perusahaan, berharap semoga bisa lekas mendapat pekerjaan.

Keluargaku berada di Bandung, namun tempat tujuanku untuk bekerja adalah Jakarta. Kini aku tinggal di sebuah apartemen yang kebetulan tak jauh dari perusahaan-perusahaan 'calon' tempatku bekerja. Dan kebetulan juga apartemenku dekat dengan rumah Risya.

Aku dan Risya sepakat untuk bertemu di kafe dekat tempatnya bekerja sore nanti
untuk membicarakan hal kemarin. Dan yang kulakukan siang ini malah berputar-putar keliling Jakarta tanpa tujuan yang lebih spesifik. Sudah lama aku tidak 'jalan-jalan' dalam artian mengitari kota sembari memperhatikan lingkungan sekitar. Ya, aku memiliki waktu seluang itu.

Menurutku, Jakarta lumayan memiliki banyak perubahan sejak beberapa tahun terakhir, meskipun masalah utamanya masih sama: macet. Kalau dibandingkan dengan Singapura, hm, gimana ya. Agak jauh ya perbedaannya meskipun sama-sama kota megapolitan. Kalau di sana, entah mengapa bisa ramai tapi tidak sumpek, padahal sama-sama panasnya. Lalu, kalau bahas masalah jalanan secara umum begini (ini mumpung aku lagi di jalan jadi kita bahas dikit tentang jalanan aja), trotoar di Singapura itu lebar. Pejalan kaki jadi enak dan leluasa kalau mau jalan.

PKL di trotoar? Di Singapura hampir enggak ada, dan tidak ada pengendara sepeda motor yang nyelonong lewat trotoar loh! Hebat banget, penduduk yang perlu banget buat diapresiasi dan ditiru kedisiplinan dan kepatuhannya.

Suara klakson dari mobil dibelakangku terdengar, membuatku kembali ke alam nyata alih-alih meneruskan membanding-bandingkan Jakarta-Singapura. Aku hendak melajukan mobilku namun kuurungkan karena ternyata lampu merah masih menyala. Ini yang salah siapa sih? Lampu merah masih enam detik kok udah main klakson aja? Ribet amat ya orang di belakang sana itu.

Akhirnya lampu hijau menyala dan aku melajukan mobilku.

***

Dan di sinilah kami sekarang. Duduk berhadapan di sebuah restoran bebek gorang yang terletak tidak jauh dari kantor Risya. Gadis di depanku ini memberiku ekspresi wajah yang nggak enak banget.

"Ih kenapa sih mukanya gitu amat," kataku pelan, sedikit takut.

"Ya gimana ya, kita kan janjian sore, nah lu ngapain ngajak gue ketemuan sekarang di siang bolong begini?! Ini belum jam istirahat dan lo udah ngajakin gue ketemuan di sini. Kalo bos gue tahu gue malah asyik makan di sini padahal kerjaan masih banyak yang belum beres... Hmm.. Mati aja gue." Risya celingukan menoleh kanan kiri. Mungkin dia takut ada orang kantor yang memergokinya.

"Aduh, santai aja lah. Lagian kan jam istirahat bentar lagi. Gue suntuk banget."

Risya memicingkan matanya. "Derita lo sih Zev. Makanya kerja dong biar enggak gabut," balasnya cepat. "Atau lo nikah aja, bikin anak yang banyak biar nggak kesepian," imbuhnya lagi. Ya ampun, mulutnya minta dicocol bon cabe level 30.

InterlockingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang