Chapter 7

159 10 0
                                    

      "Milo, jangan mendekat! Jangan bawa belalang itu padaku!" teriak salah satu anak laki-laki berkepala pelontos itu sedang berlarian karena dikejar oleh satu anak lain yang padalal lebih kecil usianya.

     "Ah, kamu itu laki-laki. Lebih tua dariku pula, masa takut sama belalang sekecil ini?" sahut anak laki-laki berambut cokelat muda mendekati pirang masih saja mengejar anak di depannya.

           Mereka terus berlari. Mengelilingi desa sampai-sampai para tetangga keheranan dan ikut menonton mereka yang sedang berlarian itu. Satu per satu gedung dilewati. Entah sudah berapa kali juga mereka menabrak orang lain.

      "Eh, hati-hati donk!"

      "Ma, maaf!" ya, anak berkepala pelontos itu menabrak orang lagi. Mereka berlarian hingga di rerumputan sampai anak berkepala pelontos itu menginjak sesuatu. Herannya, berkat injakkannya, sesuatu yang diinjaknya itu mengeluarkan suara, "Aduh!" yang kencang.

           Dia berhenti. Menoleh ke arah suara itu berasal dan dia menemukan sesosok remaja laki-laki yang tampan rupanya dengan rambut yang dibiarkan gondrong itu diikat. Namun, seluruh tubuhnya sudah kotor. Itu karena dia sehabis saja tertidur di rerumputan itu. Tapi dia tampak kacau sekali. Rerumputan itu banyak menempel di tubuh, rambut, hingga wajahnya. Dia berdiri, mendekati anak botak itu dan menjewernya, "Kenapa kamu menginjakku?!"

      "Aduh, aduh! Maafkan aku, kak. Aku tidak tahu kalau kamu sedang tertidur pulas di sana." jawab anak yang dijewernya itu dengan raut wajah kesakitan.

      "Bah, bohong kamu! Ini mungkin sudah yang ke seratus kalinya kamu bermain-main dengan adikmu itu lalu dengan tidak sengaja menginjakku di sana. Tulangku juga bisa patah tahu! Kamu juga sudah besar, tubuhmu sudah semakin berat!"

      "Ya, maaf, kak." ucap anak itu yang masih saja dijewer, "Maafkan aku. Habis, ini, kan jalan yang paling cepat untuk menuju panti asuhan. Jadi, sudah jelas aku akan berlari lewat jalur ini jika terburu-buru. Kakak juga sudah tahu itu, bukan? Tapi kakak masih suka saja tidur melintang di sana. Tidak mau mencari tempat lain. Aduh, aduh!"

      "Diam kamu, bocah nakal!" jewerannya semakin menyakitkan anak botak itu, "Tidak perlu banyak alasan! Tempat ini adalah tempat yang paling nyaman untukku menikmati angin."

           Dari kejauhan, bocah yang tadi mengejar anak botak itu tetawa keras.

      "Oh, ini dia biang keroknya." remaja itu melepas jewerannya. Telinga anak botak itu sampai merah karenanya. Tapi, remaja tampan itu sudah tidak menghiraukan adiknya yang satu itu dan mulai mengejar adik satunya yang lebih kecil lagi.

      "Kena kamu! Ini dia yang selalu membuat masalah." remaja itu menjewer adik yang lebih kecil lagi itu dan si adik juga memberi penjelasan seperti yang dilakukan kakak botaknya. Tapi sang kakak tidak peduli dan terus menjewer adiknya itu hingga menangis.

      "Aduh, kalian ini. Berhentilah bertengkar." tiba-tiba terdengar suara yang lirih dari belakang mereka. Mereka mengenal suara itu dan sontak memberhentikan kegiatan rutin mereka. Sesosok wanita tua muncul dan mereka langsung mengelilinginya.

      "Bibi Ann, dia mengejarku dengan belalang lagi." ujar si bocah botak.

      "Bibi Ann, dia menginjakku lagi!" ucap si remaja ikut mengadu.

      "Bibi Ann, belalangku hilang!"

      "Sudah-sudah. Diamlah kalian semua bocah nakal!" kata wanita tua yang dipanggil mereka dengan sebutan Ann itu langsung mengheningkan mereka. "Asal tahu saja, kepalaku sudah mau meledak tiap kali mendengar keributan kalian. Mengapa kalian tidak bisa seperti saudara-saudara kalian yang lain? Lihatlah Sugar dan Candy di sana! Mereka akur selalu."

      "Apanya yang akur, Bibi Ann?" sahut si bocah botak itu langsung, "Aku masih sering melihat dua anak perempuan itu jambak-jambakan tanpa sepengetahuanmu, kok."

      "Iya, benar." si remaja mengangguk.

      "Aduh!"

     "Aduh!"

     "Aduh!" mereka bertiga dipukul dengan koran.

      "Lho? Kok aku dipukul? Aku tidak bohong. Mereka juga sama, kok! Aku melihat kelakuan mereka dengan kedua mata kepalaku sendiri, Bibi Ann." tukas si bocah botak itu dengan jelasnya.

      "Aku juga dipukul. Padahal aku juga biasa melihat mereka bertengkar. Aku juga tidak bohong." ucap si remaja tidak terima.

      "Nah, aku tidak mengatakan apa-apa, tapi kok juga kena pukul?" si adik kecil heran.

           Bibi Ann menghela napas. Lalu dia berkata, "Caramel, Marshmallow, Milo. Tolong dengarkan aku. Kenapa, sih kalian selalu seperti ini? Kurangkah kasih sayangku pada kalian? Kurangkah kasih sayang para pegawai panti asuhanku pada kalian?" Ketiga anak asuhnya itu langsung terdiam.

      "Setidaknya aku hanya ingin melihat kalian akur. Aku ingin melihat semua anak asuhku dalam keadaan baik. Tolong berbaikanlah."

      "Baik, Bibi." kata si adik kecil.

      "Maafkan kami." si bocah botak itu juga berucap.

      "Baguslah bila kalian ingin melakukannya. Dan semoga kalian memang melakukannya. Karena tidak ada satu pun dari kita yang abadi."

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang