Chapter 18

108 13 12
                                    

      "Mengubah?" dia heran.

      "Ya, iya, mengubah. Atau tidak, maksudku, dengan kata lain, bukan mengubah tapi memerbaikinya." ujarku, "Desamu itu memang mati, tepatnya hampir mati, bukankah begitu?"

           Dia mengernyitkan dahi. Oh, tidak. Di saat seperti ini aku malah bingung menjelaskannya, terbata-bata. Bagaimana bila dia tidak memahami apa maksudku? Hancurlah, rusak semua yang telah kurencanakan. "Begini, maksudku, desa itu belum mati, oke?"

      "Ayolah, langsung ke intinya saja. Kepalaku pusing tahu!" katanya dengan sedikit membentak.

      "Iya, desamu itu belum mati, Caramel. Belum mati!"

      "Aku tidak mengerti!!!" dia berteriak. Sontak, semua orang di taman itu menoleh ke arah kami. Seorang petugas keamanan dengan seragam lengkapnya itu pun langsung mendatangi kami, "Ada apa ini?" tanyanya.

           Kami saling berdiam, apa yang harus kami katakan?

      "Oh, atau jangan-jangan, kamu penculik?!"

          Apa?! Sekarang aku dituduh menculik anak sebesar ini yang secara finansial tidak memiliki apa-apa?! Jikalau aku jadi penculik, logikanya, aku akan memilih sasaran anak orang kaya raya. Bukan anak aneh, gila, tidak punya motivasi, apalagi tidak punya uang seperti anak ini! Tolonglah, berpikirlah secara wajar, secara rasional. Gunakan logikamu!

      "Ah, tidak, anda salah paham. Aku bukan penculik." kataku. Tapi sepertinya petugas itu tidak memercayaiku dan malah membentak, "Sudah, tidak perlu berbohong. Mana ada kriminal yang ingin mengakui perbuatannya. Sekarang, ikut saya ke kantor polisi!"

           Gila, ini benar-benar gila. Sekarang aku akan digiring ke kantor polisi gara-gara anak ini. Sungguh, aku tidak rela menyerahkan diriku begitu saja hanya untuk anak yang susah diberitahu ini. "Tapi, pak, aku tidak-"

      "Iya, pak. Saya baik-baik saja." tiba-tiba remaja itu menyela, "Tenang saja, dia temanku. Dia bukan penculik, pak. Anda salah paham." bagus, Caramel membelaku. Petugas itu diam untuk beberapa saat sambil memerhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sungguh, jikalau aku masih hidup, aku yakin aku sudah keringat dingin. Apakah aku semencurigakan itu sampai petugas ini memerlakukanku seperti ini?

      "Baiklah, kalau adik tidak apa-apa." ujar si petugas, "Tapi, ingat, ya, berhati-hatilah karena ini kota besar. Masih banyak penculik berkeliaran. Saya permisi dulu." dia pergi.

      "Astaga, Caramel, yang tadi itu hampir saja." ucapku dengan napas yang tidak karuan, "Mengapa kamu berteriak?"

      "Habis, cara bicaramu tadi itu belepotan sekali. Tolong bicara langsung ke intinya karena aku belum paham." begitu katanya.

      "Baiklah, Caramel. Jadi, seperti kataku tadi, desamu itu 'belum mati'"

      "Iya, terus?" tanyanya penasaran.

      "Ya, kenapa aku menyebutnya belum mati? Itu karena di desa itu masih ada kamu, Caramel."

      "Memang benar, desaku masih memiliki manusia walaupun hanya satu yaitu aku. Tapi, apa kaitannya?" astaga, yang benar saja, apa anak ini tidak paham-paham?

       "Ya, justru karena hanya tersisa kamu di sana, itu artinya kamu adalah satu-satunya penerus sekaligus andalan terakhir yang tersisa. Kamu adalah satu-satunya harapan untuk desa itu." jelasku, "Dengar Caramel, bila usaha ini berhasil, kamu akan dapat uang. Uang itu dapat kamu gunakan, dapat kamu manfaatkan untuk memerbaiki desamu yang sudah setengah hancur itu. Dengan begitu, kemungkinan besar orang akan mengunjunginya atau bahkan ikut tinggal di sana bersamamu. Kemunginan, saudara-saudaramu juga akan datang." begitulah penjelasanku yang panjang lebar.

           Mata anak itu membesar, sepertinya cara ini berhasil. "Begitu, ya? Aku paham akhirnya." ujarnya, senyum mulai muncul pada wajahnya. Bagus, anak ini sudah memiliki secercah motivasi.

      "Ayo, kita coba pada orang lain." kataku sambil mengambil bunga merah yang dimasukkan di dalam botol minuman itu.

      "Ayo." dia mengikutiku. Kami kembali mencoba menawarkannya pada orang-orang di sekitar. Memang, tidak sedikit yang menolak. Tapi, ada seorang nenek yang mendatangi kami. Dia berkata bahwa dia cukup tertarik dengan apa yang kami dagangkan. Dia berkata, "Bunga ini belum pernah kulihat sebelumnya. Aku ingin membelinya." kami memberikannya pada nenek itu. Syukurlah, akhirnya laku juga.

          Kami sempat berbincang-bincang dengan nenek itu. Caramel berkata, "Iya, nek. Kami memang bukan berasal dari sini. Bunga itu berasal dari tempat tinggalku."

      "Oh, begitu, ya? Di mana rumahmu, nak?" tanya si nenek.

      "Tempatku tinggal ada di luar kota ini, nek. Tepatnya, di desa yang sudah setengah hancur di luar."

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang