Aku terus berlari, kedua langkah panjangku belum juga berhenti. Aku sudah berada di luar kota. Kedua telapak kaki sudah menyentuh rerumputan yang lebat. Karena ketakutanku, aku sudah tidak tahu harus pergi ke mana. Akhirnya aku berlari menuju tempat itu. Rintik hujan bagaikan menyambutku saat sudah berada dekat dengan kincir air itu.
Sebuah kincir air yang sudah tampak tua, yang sudah dirambat oleh tumbuhan. Deras, hujan jatuh sangat deras, begitu pula dengan air mataku. Aku jatuh dan bertumpu pada kedua lututku di depannya, di aliran sungai yang mengalir semakin cepat karena hujan. Aku mulai ingat, semuanya. Aku sudah tahu semuanya. Aku tertawa karenanya. Dengan tindakan bodohku di hari itu, aku tertawa sekarang.
Di tengah derasnya hujan badai, tiba-tiba kudengar suara langkah kaki yang terdengar sayup-sayup karena tertutup suara hujan.
"Sedang apa kamu di sana?" suara itu terdengar sangat pelan. Sangat tidak bisa disandingkan dengan suara rintik air yang jatuh. Aku menoleh, kulihat remaja berambut cokelat gula leleh itu berdiri. Dia ada di sana tanpa sepeda usangnya. Kedua tangan masuk ke dalam kantung jersey yang sudah basah seluruhnya. "Kenapa kamu tertawa?" anak itu tampak buruk, tidak ada setitik cahaya pada sepasang matanya.
"Kenapa kamu tertawa di saat seperti ini? Kenapa kamu sekarang mudah sekali untuk tertawa?" tanyanya, "Apa sudah ada kabar baik untukmu? Apa kamu sudah mengingat apa yang ingin kamu ketahui? Apa kamu bahagia sekarang?"
Susasana sangat berat, tubuh ramping anak itu tampak makin ringkih, menggigil diterpa air dan angin yang berembus kencang ke sana ke mari. Apakah sedingin itu? Tapi, aku tidak merasakan apa-apa. Aku sudah bukan lagi manusia. Anak itu menundukkan kepalanya, "Kalau begitu, selamat untukmu."
Anak itu berlari, meninggalkan aku yang sedari tadi belum sempat berucap sepatah kata. Apa yang terjadi padanya? Awalnya, aku ingin membiarkannya. Aku mencoba untuk tidak peduli. Tapi, sepertinya memang tidak bisa. Akhirnya sepasang kaki panjang ini kembali berlari. Mengejar, mengikuti langkahnya hingga akhir.
Dia masuk ke bilik kecilnya, aku juga ikut. Dia tampak gusar, gelisah, tapi aku merasa bahwa dia sedang bersedih. Ada rasa sedih yang besar di hatinya. Dia segera melepas jersey basahnya, membuang jauh-jauh pakaian itu, membantingnya ke arah barang-barangnya yang bertumpuk berantakan di sana.
"Kenapa kamu kemari? Kamu sudah mendapat apa yang kamu inginkan, bukan?! Lantas, apa yang kamu tunggu?! Kembalilah kamu ke kota itu! PERGILAH!" dia mendorongku, tapi aku tidak terjatuh. Justru dialah yang jatuh ke lantai. Dia menangis, sekeras-kerasnya. Aku menunduk, melihat rupanya. Apakah sejak awal dia sudah menangis? Apa aku saja yang tadi tidak melihatnya karena hujan?
"Cara-"
"Diam kamu, mayat hidup! Aku sedang tidak ingin berbicara padamu!" sentaknya.
"Tapi, kenapa? Ada apa?" aku berjongkok hingga tinggi tubuh kami setara.
"Bukankah baru kukatakan?! Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu! Sudah cukup, AKU TIDAK INGIN MENDENGAR HASUTANMU!!!" dia berteriak ke arah wajahku. Aku bisa melihat raut wajah penuh emosi. Aku berdiri lalu aku ke luar. Perasaan ini sangat tidak mengenakkan dan aku sangat tidak menyukainya.
Aku belum tahu apa masalahnya. Tapi, aku tetap merasa bersalah. Aku sangat merasa bersalah, menyesal telah mengajak anak itu pergi ke tempat yang sejak awal sudah dicap tidak baik olehnya. Itu sebabnya, mungkin sudah saatnya aku mundur, mengalah. Karena bisa jadi semua ini terjadi, anak itu jadi seperti itu karenaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
Ficção GeralAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...