Chapter 23

85 10 0
                                    

Sepi, akhirnya kami melewati jalan yang sepi. Lampu jalan menerangi dengan cahaya kekuningannya. Hanya ada aku dan anak itu di sepanjang jalan kecil ini. Kami melewati perumahan. Mungkin rumahnya ada di sekitar sini, begitu pikirku. Namun, tiba-tiba anak itu berhenti. Aku bertanya, "Apa sudah sampai?" tapi dia tidak menjawab dan menlanjutkan langkah kecilnya.

Aku mengikutinya lagi dan dia berhenti untuk yang ke dua kalinya. Kutanya lagi, "Sudah sampai?" tapi dia masih tidak menjawabku. Dia masuk ke sebuah pos yang ternyata sebuah kantor polisi.

"Pak, dia pencu-" dengan sigap, aku menutup mulutnya dan menggendongnya pergi jauh-jauh dari sana yang secara tidak sadar justru malah menguatkan tuduhan bahwa aku sudah menculik anak-anak. Polisi-polisi di sana tentunya mengejarku. Astaga, aku harus pergi ke mana? Saat berlari, aku bagaikan sudah tidak memedulikan arah, yang penting aku jauh dari para aparat itu.

Sepertinya sudah jauh, aku menoleh ke belakang dan tidak mendapati siapa pun di sana. Anak itu kuturunkan di tempat sepi itu.

"Kenapa kamu melakukan itu?" ujarku. Tapi anak itu tetap tidak membuka mulutnya. Astaga, anak ini jauh lebih cerdas dari yang kubayangkan. Di situlah aku berpikir, siapa, sih orang tua yang sudah mengajarkannya?

Sunyi, hanya ada bunyi jangkrik yang kudengar saling bersahutan.

"Kamu tidak lelah?" tiba-tiba anak itu berkata.

"Ah, tidak." jawabku singkat.

"Kok bisa?" sepertinya dia penasaran. "Kok bisa tidak lelah? Napasmu juga stabil." anak ini bukan dokter,'kan? "Padahal kamu sudah berlari sepanjang tiga bagian perumahan."

Wah, bagaimana ini? Haruskah kujawab? Karena sepertinya anak ini menunjukkan rasa ingin tahu yang besar. Tapi, jika kujawab bahwa aku ini mayat yang entah bagaimana secara ajaib bisa hidup mungkin dia akan ketakutan karena menganggapku zombie. Jika hal itu terjadi, rusaklah semua rencanaku.

"Itu karena aku ini manusia super." astaga, aku tidak percaya menjawab pertanyaan bocah cerdas ini dengan jawaban yang menurutku sangatlah konyol. Aku yakin akan segera ketahuan karena jawaban seperti itu tidak masuk akal dan kalau pun kujawab bahwa aku ini mayat hidup, ya ... Itu juga sama tidak masuk akalnya, sih. Tapi yang itu,'kan realita.

Kucoba untuk tersenyum sambil berharap agar anak ini percaya.

"Oh, begitukah?" eh? dia percaya? "Jadi kamu manusia super? Yang seperti di televisi dan buku komik?"

"Ah, iya, aku sejenis itu." jawabku dengan nada yang agak kaku. Jadi, dia benar-benar percaya? Jika memang begitu, syukurlah. Apa pun yang terjadi, anak-anak tetaplah anak-anak, bukankah begitu?

"Woah, keren. Aku bertemu dengan manusia super. Apa kamu pernah menyelamatkan seseorang?" tanyanya antusias. Aku terdiam sejenak karena masalahnya aku sendiri terkena amnesia, jadi tidak tahu apa-apa soal orang yang pernah kutolong. Tapi, mungkin aku dapat berbagi sedikit tentang remaja itu.

"Ya, sebenarnya, bisa dibilang aku masih sedang dalam misi untuk menolong seseorang." ujarku.

"Benarkah? Siapa dia?" mata anak itu membesar menandakan dia sangat ingin tahu.

Aku menjawab, "Dia orang yang baru kutemui akhir-akhir ini. Dia tinggal di luar kota ini. Di desa yang hampir mati. Dia mencari saudaranya yang karena suatu hal terpencar di kota."

"Jadi begitu, ya."

"Iya, begitu." ujarku sangat ramah menanggapi anak ini.

"Sepertinya kamu memang bukan orang jahat." dia menunduk, "Maafkan aku."

"Ah, tidak apa-apa. Toh, aku ini manusia super. Aku tidak akan lelah walau berlari hingga ujung dunia." ya, tanpa sadar aku jadi seperti membanggakan dan menyombongkan diri sendiri.

Anak itu tersenyum dan tertawa kecil. Senyumannya sangat tulus, sama seperti remaja itu. Hangat, untuk yang ke dua kalinya aku merasakan sensasi ini. Begitu tenang dan membuatku nyaman. Rambut anak ini melambai terterpa angin ringan. Rambut anak ini begitu hitam, mirip dengan rambutku.

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang