"Kota itu telah merenggut semuanya. Para penduduk desa, sampai saudara-saudaraku pun tidak luput darinya." kata remaja itu dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
"Iya, kamu sudah mengatakan itu. Tapi, aku hanya tidak tahu saja bagaimana kota itu mengambil mereka." ucapku dengan nada agak memaksa agar dia kembali bercerita.
"Baiklah, aku akan bercerita lagi. Kamu sudah tahu, kan dulu tempat ini adalah desa. Di sini juga merupakan bekas panti asuhan di mana aku dan saudara-saudaraku dibesarkan."
"Iya, aku paham itu." ucapku serius.
"Dulu kota di sana itu juga sama, kok. Hanya berupa hamparan rumput yang luas." ujar remaja itu, "Di sana dulu juga hanya sebuah desa. Hingga suatu saat orang-orang beruang itu datang ke sana. Para pengusaha, investor mulai melirik lahan itu. Mereka lalu membangun desa itu sedikit demi sedikit. Desa itu berkembang dengan sangat pesat hanya dalam kurun waktu beberapa tahun saja hingga sekarang kamu dapat melihat bangunan pencakar langit itu dari sini."
Remaja itu berdiri, menatap ke arah cahaya bangunan-bangunan tinggi itu dari tempatnya berpijak, "Menurutmu, setelah melihat itu, apa yang akan kamu lakukan?" dia menoleh ke arahku, "Apa yang akan kamu lakukan bila seandainya kamu adalah salah satu penduduk desa ini, desa yang masih tradisional ini melihat desa tetanggamu yang lambat laun berubah menjadi kota besar yang modern? Menurutmu, apa yang akan kamu pikirkan? Apa yang akan kamu lakukan?"
Aku yang masih duduk di lantai menatap wajahnya, tapi tidak lama, aku menundukkan kepalaku dan mataku tertuju pada kedua kaki panjangku yang sedang berselonjor, "Aku akan ingin mengikutinya." jawabku.
Remaja itu tersenyum mendengar ucapan yang terlontar dari mulutku, "Iya, sudah jelas orang akan memiliki rasa ingin untuk mengikuti itu, kamu akan berpikir dan memiliki inisiatif untuk pindah dari tempat ini. Itu adalah jawaban mengenai alasan para warga desa pergi. Tapi, itu pengecualian untuk saudara-saudaraku."
"Apa?" aku mengangkat kepalaku, "Lantas, apa yang membuat mereka pindah, pergi meninggalkanmu?"
Aku melihat raut wajahnya yang kembali berubah. Dia sempat menggigit bibirnya selayaknya dia memang tidak ingin mengatakannya.
"Mereka diajak untuk pergi." ucapnya dengan menunjukkan raut wajah tidak enak.
"Diajak pergi? Oleh siapa?"
"Ya, aku tidak tahu." jawabnya sambil kedua tangan memegang belakang kepalanya sendiri, "Itu terjadi delapan tahun yang lalu saat usiaku masih sepuluh tahun. Aku belum memahami banyak hal saat orang-orang itu datang dan membawa saudara-saudaraku pergi satu per satu meninggalkanku, meninggalkan desa ini hingga akhirnya hancur menjadi puing-puing karena cuaca buruk yang selalu terjadi juga sepertinya tidak dapat dipungkiri."
Napasnya berat, sepertinya dia hendak menangis lagi, "Ah, tapi dulu aku ingat sekali. Marshmallow, kakakku itu pernah berkata sebelum dia pergi. Dia bilang dia akan kembali kemari, menemuiku bila dia telah sukses." ucapnya dengan kepala yang telah diangkat, "Dan adikku Milo, ya, dia masih sangat kecil waktu itu. Usianya delapan tahun saat dia pergi, aku yakin dia juga tidak tahu apa-apa. Dia hanya mengucapkan salam perpisahan sebelum dia pergi. Iya ... Hanya itu saja." dia tersenyum, memerlihatkan gigi-giginya padaku.
Untuk beberapa saat aku tidak berucap. Remaja itu kembali mendongak, melihat bintang-bintang yang seperti katanya, sudah tidak banyak lagi itu dengan senyuman palsu melekat pada wajahnya. Aku menarik napas, "Bagaimana kalau kita pergi?"
"Maksudmu?" tanyanya heran.
"Kita pergi ke kota itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
Fiksi UmumAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...