Setelah terbangun aku bertemu dengan remaja itu yang berkata bahwa aku ini sudah mati. Tentunya aku terkejut sambil berkata, "Apa?" tapi remaja itu tidak menanggapiku, dia justru melihat ke arah langit lalu berkata, "Sebentar lagi turun hujan," remaja itu menarik tanganku hingga membuatku berdiri dan berjalan mengikutinya, "Ayo berteduh." ajaknya.
Ditariknyalah diriku ke salah satu rumah yang sudah hancur di sana, membuatku berjalan di atas rumput dengan kakiku yang tidak beralas ini. "Masuklah." ujarnya. Aku pun akhirnya masuk ke dalam rumah yang bisa dibilang bukan rumah lagi karena sudah hancur dan hanya tersisa satu bilik saja. "Sekarang, duduklah." kata remaja itu lagi, "Di sini dingin, aku akan membuatkanmu teh." dia pun berjalan di dalam ruangan satu bilik ini.
Aku akan berkata bahwa ruangan satu bilik ini begitu kacau. Di satu ruangan ini terdapat banyak sekali barang. Barang itu bercampur-campur di tempatnya, mulai dari alat masak, pakaian, kain-kain, peralatan yang biasanya digunakan di bengkel pun ada di sini. Di sinilah aku, duduk di atas karpet yang sudah usang, berteduh di dalam ruangan satu bilik dengan dinding bagian depannya yang sudah hancur, bahkan sudah tidak ada pintunya. Sebenarnya ruangan ini telah kehilangan atapnya, ruangan ini pada akhirnya hanya beratap seng yang telah berkarat itu.
Tempat ini mengenaskan. Itulah yang sekarang aku pikirkan. Remaja itu sedang merebus air tidak jauh dari tempatku duduk. Ya, memang sih, dia tidak akan jauh dariku dikarenakan ruang satu bilik ini tidaklah besar. "Nah, ini tehmu." ucapnya sambil meletakkan cangkir berisi teh panas itu di depanku, "Oh, aku belum menutup ruang ini." ucapnya lagi sambil berlari terburu-buru menuju tempat tadi kami masuk, tepatnya tempat di mana salah satu dinding ruangan ini yang tidak ada itu. Lalu dia mengambil kursi dan naik di atasnya sambil berusaha menggapai sesuatu di atas.
Dia meraih sesuatu di sana dan menurunkannya sampai menyentuh lantai. Dia menarik tali yang mengikat plastik yang besar itu lalu mengikatnya pada tongkat kayu yang ditancapkannya di tanah depan lantai yang masih tersisa itu. Plastik itu sangat besar hingga dapat menutupi bagian ruangan yang tidak bertembok itu. Dia kembali berjalan, kali ini dia berhenti dan langsung duduk di hadapanku. Dia meraih kain yang ada di dekatnya lalu menutup tubuhnya dengan itu. Dia juga melemparkanku kain miliknya yang lain, "Pakailah." ujarnya.
Aku bertanya padanya, "Apakah sedingin itu?" tapi remaja itu langsung menjawabnya dengan berkata, "Apa maksudmu? Asal tahu saja, tempat ini selalu dingin dengan sering terjadinya hujan. Aku sih, sudah terbiasa dengan udara di sini. Tapi jika hujan, apalagi dengan angin kencang seperti di hari ini, tentunya akan lebih dingin dari hari biasa."
Aku melihat ke luar dari bagian ruang yang tidak berdinding itu. Melihat keadaan luar itu dari dalam melalui plastik transparan itu. Air hujan mulai turun dengan angin yang berembus kencang menerbangkan rumput juga dedaunan. Aku menggenggam erat kain yang dia berikan padaku. Tapi, aku tidak memakainya. "Aneh." kataku, "Tempat ini terlihat dingin, hujan dan angin juga telah terjadi. Tapi, aku tidak mengerti. Mengapa aku tidak merasakannya? Mengapa aku tidak kedinginan?"
"Itu karena kamu sudah mati." jawab remaja itu.
"Lagi, apa maksud lelucon ini?" ujarku, "Tidak mungkin aku sudah mati. Aku masih bernapas."
"Iya, tapi sebenarnya, seharusnya kamu itu sudah mati."
"Jikalau aku ini sudah mati, lalu ini tempat apa? Apakah ini akhirat?" tanyaku.
"Tidak, kamu masih berada di bumi, kok." jawab remaja itu lalu segera menyeduh teh miliknya.
"Begitukah? Bukankah itu artinya aku masih hidup?"
"Tidak, kamu itu sebenarnya sudah mati. Atau begini saja, aku akan meralat perkataanku. Kamu itu bukannya sudah mati. Tapi, kamu itu sudah pernah mati." ucap remaja berambut coklat itu.
"Aku tidak mengerti. Sungguh, jujurlah padaku, apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Ini lelucon atau sungguhan?" tanyaku lagi.
"Lho, kamu tidak tahu?" ucap remaja itu lalu segera meletakkan cangkir tehnya di lantai, "Kamu tidak tahu apa yang terjadi padamu? Sungguhkah itu?"
"..." aku terdiam.
"Wah, bagaimana ini? Bukannya aku sudah mengatakan ini sebelumnya, bahwa aku tidak tahu apa yang terjadi padamu? Padahal tadinya aku berniat menanyakan ini langsung padamu karena penasaran, tapi ternyata kamu sendiri tidak tahu. Tapi, tunggu dulu, kamu itu tidak tahu atau tidak ingat?"
Mendengar perkataan remaja itu, aku terdiam. Dia kembali berucap, "Begini saja, untuk memastikannya aku akan bertanya padamu, siapa namamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
Ficção GeralAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...