Chapter 29

62 7 15
                                    

           Saat itu rintik hujan berjatuhan dari langit yang tinggi. Menghujani tempat di mana dia jatuh dan mengalir entah ke mana. Aku berada di ruang kelas yang sudah sepi lantaran banyak orang yang dibilang sebagai teman sekelasku sudah pulang. Aku juga ingin pulang, tapi apa daya payung yang dibutuhkan tertinggal di tempat kediaman alias di rumahku sendiri.

          Aku terus menatap ke luar jendela. Banyak dari anak sekolah berlarian, mereka berhamburan untuk menghindari hujan. Di situlah terkadang aku berpikir, untuk apa manusia itu begitu terburu-buru pergi di saat bahaya padahal hujan ini tidak akan berlangsung selamanya, bukan? Itu sebabnya, kuputuskan untuk terus menunggu sampai setidaknya tangisan awan ini reda.

           Kutunggu dan terus saja kutunggu. Tapi, tentu saja aku bosan bila melihat pemandangan yang itu-itu saja lewat jendela. Akhirnya, kedua manik gelapku mengarah ke arah mereka yang masih berada di dalam kelas. Tiga perempuan, seragamnya sudah setengah basah akibat dia mencoba untuk menerjang hujan tadi.

           Petir menyambar, mereka menjerit, menutup kedua telinga dengan tangannya. Aku menghela napas, memangnya sudah umur berapa,'sih, masih takut dengan petir? Katanya, masa SMA itu masa di mana kita dapat merasakan cinta. Tapi, aku tidak begitu memercayai itu. Sebab, tidak ada dari mereka yang terlihat menarik bagiku.

                                 ***

           Aku berjalan, menyangklong tas di bahu, terus menyusuri lorong yang panjang ini karena tidak betah berlama-lama di dalam kelas penuh teriakan mereka. Aku menghela napas untuk yang ke sekian kalinya. Kenapa, sih harus seperti ini? Kedua bola mataku terus berkeliling, melihat bangunan sekolah yang biasa saja ini, mungkin akan ada sesuatu yang menarik yang tidak akan membuatku bosan.

            Pintu itu terbuka, sebuah ruangan laboratorium itu terbuka. Siapa yang ada di dalamnya? Awalnya, aku mencoba untuk mengintip sesaat, namun, akhirnya semua itu berubah saat kedua mata ini bagai tidak dapat berpaling darinya. Seorang perempuan, poninya dipotong rapi tepat di atas kedua alisnya, rambut sebahu yang dibiarkan terurai, dan dia yang di sana entah sedang melakukan apa.

           Kedua kaki ini akhirnya melangkah masuk. Dia melihatku, "Maaf, di mana sopan santunmu?" katanya, "Kamu tidak mengetuk pintu?"

           Seketika, aku mundur, kembali ke pintu kayu laboratorium tadi. Menutup, mengetuknya dahulu sebelum akhirnya membukanya.

      "Begitu?" tanyaku.

      "Ah, masih salah!" dia berdiri, menunjuk ke arah wajahku, "Masih salah, karena aku belum menyilakan kamu masuk." kepalanya menggeleng.

           Aku kembali ke pintu itu, melakukan hal yang sama tapi aku tidak langsung masuk. Aku menunggu sampai dia berkata, "Masuk." atau, "Silakan" atau bisa jadi dia berkata, "Langsung masuk saja." tapi suaranya tidak kunjung terdengar. Jadi, aku berkata saja, "Aku masuk, ya!" dan kubuka daun pintu kayu yang cukup berat itu tapi tidak kudapati seorang pun di dalamnya.

           Aneh, apa aku baru saja berbicara dengan hantu?

                                  ***

           Esok hari tiba, aku berjalan menuju sekolah. Kota ini begitu ramai, ya? Pagi-pagi begini sudah macet saja. Kota ini sangat tidak sesuai dengan pemikiranku yang santai. Untung aku berjalan kaki, begitu pikirku. Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh.

      "Hai," sapanya, "Maaf karena aku tidak menyilakan kamu masuk sebelumnya. Karena teringat sesuatu yang penting, aku jadi terburu-buru dan akhirnya pergi ke luar lewat jendela." astaga, apa perempuan ini serius? Di tengah hujan, dan laboratorium,'kan ada di lantai dua. Aku melihat perempuan yang kujumpai kemarin ini. Syukurlah, itu artinya kemarin aku tidak sedang melihat hantu.

      "Oi," dia menepuk pundakku lagi. Tingginya hanya sebahuku jadi dia terus mendongak ke atas untuk melihat wajahku dengan jelas, "Apa kamu mau ikut?"

      "Ikut ... Ke mana?" tanyaku heran.

           Dia tertawa kecil, "Yang jelas, sebenarnya tempatnya enak. Aku yakin kamu akan betah berada di sana."

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang