"Apa?" tubuhku terdiam di sana, bagaikan terpaku pada tempatku berpijak, tubuh ini tidak bergerak.
"Ah, tidak apa-apa." ujar anak itu yang langsung menunduk, "Mungkin aku salah orang."
"Tunggu dulu, apa maksudmu?" aku langsung menangkap tangan anak perempuan yang sudah mau berlari itu.
"Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya tidak boleh bicara dengan orang asing." benar juga, tinggi anak ini masih sekitar pinggangku. Aku yakin usianya belum genap sepuluh atau bahkan mungkin masih enam atau tujuh tahun. Ya, itu hanya spekulasi sementaraku. Aku yakin orang tuanya telah berpesan padanya tentang orang asing.
"Tolong lepaskan aku."
"Maaf," aku mereganggkan genggaman agar tidak menyakiti lengannya yang kurus kecil itu, "Tidak perlu takut, aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin bertanya." sekiranya begitu yang kukatakan untuk meyakinkan anak ini, "Apa kamu benar, pernah melihatku atau orang sepertiku?"
Keramaian tidak kunjung usai. Orang-orang bersorak-sorai, mereka berteriak, histeris di saat yang bersamaan. Namun, keramaian itu tidak sedikit pun menyita fokusku pada anak perempuan ini. Bisa dibilang, aku sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarku saat ini. Karena, bila seandainya aku mendapat kuncinya dari anak ini, aku bisa mengingat semuanya, bukan?
Anak itu masih bingung, aku juga masih dapat melihat ekspresi dan gestur tubuhnya yang takut dan cemas, tapi anak itu akhirnya membuka mulutnya, "Um, mungkin, aku tidak begitu yakin. Tapi, sepertinya aku memang pernah melihatmu di suatu tempat."
"Di mana?" tanyaku langsung.
"Di rumah."
***
Mata Caramel tidak hentinya menatap sesosok manusia yang dianggap oleh para gadis di sekelilingnya sebagai idola. Namun, di mata Caramel, di sudut pandang Caramel, orang itu sudah tidak asing lagi. Perawakan tubuhnya sudah berubah sejak delapan tahun lalu, dia sudah lebih tinggi, mungkin hampir menyalip tinggi badannya. Wajahnya sangat bersih dengan rambut berwarna terangnya itu menghias kepala dengan begitu baiknya.
Dia mengenakan pakaian yang elok, sepatu yang mengkilap, dan dia turun dari sebuah mobil mewah. Tapi, semua perubahan itu tidak membuatnya merubah sudut pandangnya. Di matanya, orang itu tetaplah dia, dia saat delapan tahun lalu bermain dengannya. Sosok pemuda itu mendekat, semakin dekat dengan barisannya berdiri.
"Oh, nona ingin meminta tanda tangan? Boleh." dia berhenti, tepat di sebelah Caramel, tepatnya untuk memberi tanda tangan kepada gadis yang berada persis di sampingnya. Dia mengguratkan spidol itu dengan lihainya di atas kertas. Caramel hanya di sana, berdiam, mematung bukan karena canggung tapi karena hal lain.
"Oh, ada juga penggemarku yang seorang laki-laki?" tiba-tiba remaja yang digilai gadis-gadis itu berdiri tepat di hadapannya. Tapi, Caramel bagaikan tidak berani melihatnya, dia terus menunduk.
"Nona, keberatankah apabila kamu memberikan pemuda di sampingmu ini juga kertas?"
"Oh, tentu tidak. Silakan" gadis itu terlihat sangat senang saat memberi secarik kertas dari buku tulisnya pada si idola. Sosok idola itu membuka spidolnya, dia mengguratkan sesuatu di atasnya yang Caramel yakin, jelas bukan hanya sekadar tanda tangan karena suara gesekan yang banyak.
"Ini untukmu." dia memberi Caramel kertas yang sudah dilipat-lipat olehnya sehingga lebih kecil. Caramel, perlahan mengambil kertas itu dan di saat yang hampir bersamaan, idola itu menarik kerah jersey milik Caramel. Dia mendekatkan mulutnya pada telinga Caramel. Dia berucap, agar hanya Caramel yang dapat mendengarnya.
Durasinya sangat pendek, kata-katanya terlalu singkat. Tapi, sepertinya Caramel ada di antara garis paham dan ketidakpahaman tentang apa yang dikatakan idola itu sebelum dia pergi. Dia hanya berkata, "Pergilah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
Ficción GeneralAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...