Aku meletakkan bunga itu, mulai berjalan, dengan perlahan menjauh dari sosok remaja itu. Namun, langkahku terhenti begitu saja ketika aku merasakan sensasi hangat pada lenganku. "Baiklah, aku ikut." ujar remaja itu saat menghentikanku, "Awalnya, kupikir kamu itu orangnya sabar. Tapi ternyata tidak. Kamu memang tidak memberiku pilihan lain." perlahan sensasi hangat itu hilang dari lenganku, dia melepaskan genggamannya dariku lalu pergi.
Aku diam, tidak mengucapkan apa pun pada sosok yang telah berjalan duluan mendahuluiku itu sambil berpikir, apa itu tadi? Aku yang sudah hampir tidak merasakan apa pun ini, bahkan tidak merasakan panasnya air teh yang mendidih, tapi ketika anak itu menyentuhku, rasanya semuanya berubah. Hangat, tubuh anak itu begitu hangat.
"Oi, mayat hidup! Apa yang kamu lakukan di sana?! Cepat kemari dan bawa bunga itu juga bersamamu!" lamunanku buyar saat mendengar perkataannya. Dia mengejekku mayat hidup rupanya. Tapi aku tidak marah, karena memang itu benar adanya. Aku ini sudah mati, hanya saja aku masih sanggup bergerak. Aku hanyalah wadah yang masih sanggup bergerak.
"Oi, cepat!" teriaknya lagi.
"Baik!" kuambil bunga yang tadi kuletakkan dan kubawa bersamaku mengikutinya. Anak itu terus berjalan tanpa melihat ke belakang. Aku yakin dia marah padaku, tapi tidak apa-apalah. Karena dengan cara ini, akhirnya dia berubah pikiran. Dia menghentikan langkahnya. "Ada apa?" aku bertanya padanya yang sedang berjongkok.
"Apa kamu pikir, dengan hanya menjual satu kaleng saja sampai jauh-jauh pergi ke kota?" ucap remaja itu yang akhirnya menoleh juga ke arahku, "Itu tidak cukup!"
Aku yang masih berdiri ikut berjongkok di sampingnya. "Kita harus membuat lagi!" ujarnya, "Lihat, di sini banyak barang bekas yang masih tertinggal. Bukan hanya kaleng soda itu saja yang dapat kita jadikan sebagai wadah." Aku melihat ke depan, tepatnya ke arah benda-benda bekas yang tersebar di rerumputan ini. Ada banyak, seperti kaleng minuman, kaleng soda, botol soda, kaleng cat, dan lain-lain.
"Ayo, jangan berdiam saja dan mulailah memungut!" perintahnya padaku. Aku pun menurut dan mulai mengambil bahan-bahan wadah yang sekiranya masih layak untuk kami jual nanti. Sementara dia mencabut bunga-bunga merah di sekitar bersama dengan tanahnya lalu dia memasukkannya ke dalam salah satu botol minuman dari kaca itu. Bunga merah berdaun hijau panjang dengan botol minuman yang transparan itu dengan jelas menampakkan tanah beserta akarnya terlihat begitu elok di mataku. "Bagus, kan?" ucapnya menyombongkan diri.
Dia melanjutkan kerjanya, kali ini dia memasukkan bunga itu ke dalam kaleng minuman. Dia mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya dan mulai melubangi bagian bawah kaleng. Katanya untuk sirkulasi udara dan air. Tapi, tunggu dulu, sejak kapan dia membawa pisau di sana? Ya, tapi apa pun alasannya, sepertinya itu tidaklah penting. Toh, pisau itu berguna juga.
Kedua tangannya sangat telaten dan hati-hati dalam menanamkan tanaman-tanaman itu. Tapi, tiba-tiba dia berhenti dan berkata, "Sebenarnya, aku tidak yakin mereka akan mengenaliku."
"Ha? Ya, masa mereka lupa sama saudaranya sendiri?" tukasku.
"Ya, siapa tahu. Dulu aku ini botak tahu." ucapnya.
"Iya, kalau yang itu aku sudah tahu. Kan, kamu sudah cerita." ujarku, "Tapi, walaupun kamu sudah cerita, kenapa, ya rasanya masih ada yang janggal?"
Anak itu menghentikan kegiatannya, "Maksudnya?"
"Ya, bagaimana, ya? Kamu sudah menceritakan masa lalumu. Aku tahu yang kamu ceritakan itu benar. Tapi, aku hanya merasa tidak semua yang kamu ucapkan itu adalah kenyataanya." kataku saat melap wadah-wadah itu dengan kain, "Masih ada yang kamu sembunyikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
General FictionAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...