"Hancurkan, tolong hancurkan apa yang sudah kubuat."
"Bicara apa kamu?! Aku tidak paham. Apa yang terjadi padamu?! Apa kamu masih bisa bangun?!" guncang anak itu sambil berusaha membuatku duduk kembali. "Sudah, jangan banyak bicara dulu. Kamu tampak kacau!"
"Tidak, justru aku harus segera manuntaskan ini sebelum terlambat." ujarku dengan napas yang sudah pendek-pendek.
"Kalau begitu, ucapkan itu langsung padaku dengan jelas. Jangan ambigu seperti itu agar aku dapat melaksanakannya!"
"KINCIR AIR! HANCURKAN KINCIR AIR ITU UNTUKKU, CARAMEL! SEKARANG!!!" aku berteriak, karena takut bila suaraku tidak sampai di telinganya. Anak itu, tanpa berucap lagi, langsung pergi daripadaku. Walau tubuh ini sudah dibuatnya duduk kembali, bersandar di tembok. Tapi, mungkin aku memang sudah tidak sanggup lagi, aku terjatuh kembali di lantai ruangan. Mungkin waktuku memang sudah dekat.
"Maafkan aku, Mira." aku mulai bergumam sendiri, pikiranku sudah melayang ke mana-mana. Bisa-bisanya sekarang aku melihat mereka yang sudah tiada dan yang sudah pergi dari tempat ini di saat ini. Aku sampai hampir tidak tahu, bahwa aku ini memang sedang sekarat atau memang aku sudah gila. Semua ini gila.
"Maafkan aku, Bibi Ann. Maafkan aku, Wanda. Maafkan aku, Carmen."
"Apple! Bangun!" siluet anak itu mendekat, aku dapat merasakannya walau pandangan mata ini sudah hampir sepenuhnya kabur. Hanya cahaya dari luar, hanya cahaya terang sembari hujan itu yang membuatku tahu bahwa sosok anak itu mendekat, "Maafkan aku, Caramel."
"Bicara apa kamu! Ayo ikut aku ke luar sekarang!" anak itu meraih bahuku, menarik tanganku yang satunya, dan mulai membawaku ke luar. "Ayo, hujan sudah berhenti. Hujan gelap sepanjang malam sudah berbuah berupa matahari terbit yang menyilaukan. Aku yakin, kamu akan menyukainya, Apple."
Anak itu terus berbicara selama berjalan, padahal telingaku sudah sayup-sayup mendengar perkataannya. Tidak tahu berapa jauh sudah dia membantuku berjalan. Tubuh ini digeletakkannyalah di luar, menyentuh rerumputan yang menghampar. Benar, hujan sudah berhenti. Fajar sudah menyingsing, burung-burung yang terbangun sudah ke luar dari sarangnya, berterbangan ke sana ke mari. Lalu, satu hal lagi yang menyita pandanganku, pandanganku yang kabur ini ternyata masih dapat melihat perbedaan yang terjadi. Kincir angin itu sudah hancur.
Iya, itulah yang kuinginkan.
"Terima kasih." ucapanku benar-benar pelan walau aku berusaha untuk berbicara dengan suara keras. Aku sudah tidak mampu lagi. Apa anak itu mendengarkanku? Aku harap, dia mendengarnya. Anak itu masih saja berucap, mungkin untuk menjagaku tetap sadar, dia melakukannya. Tapi, tidak ada satu pun kata yang ditangkap telingaku. Aku bagai berada di ruang hampa. Sekujur tubuh ini semakin dingin saja walau matahari sudah semakin terang bersinar. Aku akan mati untuk yang ke dua kalinya di tempat ini, ya? Sungguh, kisah hidupku berakhir tragis rupanya.
Dingin, tapi di saat itu, sejenak memang. Tapi, cukup menenangkan. Walau hanya sebagian tubuhku yang terasa hangat, salah satu tanganku itu terasa hangat. Anak itu menggenggam tanganku.
"Terima kasih." sepertinya hanya dalam hitungan detik, secara ajaibnya pandanganku kembali fokus, aku juga dapat mendengar ucapan itu dengan jelasnya. "Terima kasih, Apple." anak itu tersenyum, dia duduk di samping tubuhku yang terkapar.
"Terima kasih, Apple. Terima kasih telah menemaniku. Terima kasih telah berusaha melindungi kami. Terima kasih karena telah menjadi temanku." air matanya mulai mengalir, jatuh kembali ke bumi.
Mira, gadis yang menjadi cinta pertamaku. Desa indah tempat dia dibesarkan. Bibi Ann yang tulus menjaga anak asuhnya. Wanda dan Carmen yang selama ini menantiku. Caramel, anak yang sudah kukenal sejak dia masih kecil dan akhirnya kami bertemu lagi, aku tidak akan melupakannya. Aku tidak akan melupakan mereka. Tidak mungkin bisa.
"Selamat tinggal, Caramel." aku mencoba tersenyum walau itu sulit.
"Iya, sampai jumpa lagi." dia juga membalas dengan senyuman. "Sampai jumpa lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
Ficção GeralAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...