Chapter 14

142 11 0
                                    

      "Apa?"

           "Lihat, kita sudah sampai." dia berhenti mengayuh dan tidak menanggapi reaksiku. Lagi-lagi dia membelokkan arah bicara begitu saja. Aku memiringkan tubuhku sedikit agar dapat melihat ke arah yang dia tunjuk. Di depan kami sudah tidak terlihat lagi rerumputan, gedung-gedung menjulang tinggi bagaikan ingin meraih awan, jalanan beraspal telah sedia menyambut kami.

           Anak ini kembali mengayuh sepedanya, kami memasuki tempat besar dengan hiruk-pikuknya yang kami sebut kota. Banyak orang lalu-lalang, macet di mana-mana. Aku membayangkan, kira-kira ada berapa banyak manusia di tempat ini? Ke manakah tujuan mereka semua, sampai-sampai mereka rela berlama-lama di jalan dengan kendaraan bermesin mereka?

           Kami berkali-kali menjumpai kemacetan. Tapi, untungnya kami mengendarai sepeda yang ramping sehingga memudahkan kami untuk menyalip kendaraan besar bermesin yang terhenti di sepanjang jalan beraspal ini. Dan lagi, untungnya, anak ini mahir mengendarai sepeda. Bila tidak, aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi bila seandainya kami menabrak kendaraan di sini lalu disuruh mengganti rugi.

           Bagaimana cara kami akan membayarnya? Kami bahkan belum memulai bisnis menjual tanaman ini. Apa menjual ginjal akan berguna? Tapi, aku ini sudah mati. Ginjalku jelas sudah tidak berfungsi, bukankah begitu? Ah, sudahlah, mengapa aku memikirkan hal yang tidak-tidak? Kugeleng-gelengkan kepalaku sampai remaja itu sempat menoleh ke arahku karena heran. Saat ini, yang seperti itu tidak penting. Tepatnya, belum penting karena yang seperti itu belum terjadi.

           Anak ini lincah sekali mengendarai sepeda tuanya. Semacet apa pun jalanan yang belum kuketahui ujungnya ini jadi terasa tidak jauh lagi. Mataku tidak hentinya memerhatikan sekitar, gedungnya memang banyak sekali, ada yang bertuliskan pusat perbelanjaan, ada yang berupa hotel, penginapan, ada jembatan penyeberangan, beberapa kali kami menemui lampu lalu-lintas, papan iklan juga terpampang di mana-mana. Seperti ucapan remaja ini, bahwa di kota sangat berbeda dari tempat awal kami.

          Aku sudah menduganya, tapi aku hanya tidak menyangka bahwa ternyata tempat ini membuatku terkesima, entah mengapa. Mungkin kalian akan menganggap tempat ini gersang, tapi ternyata tidak juga. Masih ada pepohonan yang sengaja ditanam di sekitar jalanan, hanya saja memang tidak terlalu banyak. Selama perjalanan, tanpa kusadari aku merasakan sesuatu, rasanya hangat sekali, suatu perasaan nostalgia yang terasa berada di sekitarku.

          Ingatanku belum mengingatnya dengan jelas. Tempat ini, aku mengingatnya sekilas. Hanya secercah ingatan klise tentang tempat ini. Tapi, mungkin aku memang telah memilih pilihan yang tepat untuk mengunjungi tempat ini. Sepertinya, aku memang ada kaitannya dengan kota ini.

           Di saat aku menikmati suasana sambil mengingat-ingat, tiba-tiba remaja ini mengerem. Tubuhku terdorong ke depan, tersungkur, wajahku menyentuh jersey yang dipakainya. Kok, rasanya de ja vu, ya?

      "Apa tidak bisa, mengerem dengan perlahan?" tanyaku. Dia turun duluan dari sepeda, "Mau bagaimana lagi, aku memang terbiasa mengerem seperti itu." katanya.

      "Iya ..." aku ikut turun dari sepeda, mengikutinya, "Tapi yang kamu lakukan dapat membahayakan orang. Orang lain tidak terkecuali kita, lho. Apalagi sekarang kamu berkendara di tempat yang banyak orangnya. Tolong, bedakan saat kamu masih berada di padang rumput itu dengan di kota ini." ujarku panjang lebar.

      "Iya, iya. Aku akan MELEMBUTKAN remku." ucapnya. Dia berdiri di depan sebuah mesin berisi minuman lalu dia memasukkan beberapa koin ke dalamnya. Kaleng-kaleng itu berjatuhan. Dia mengambilnya dan memberikan salah satunya padaku.

      "Terima kasih." kami membukanya dan meminumnya. Aku tidak tahu rasanya. Tapi aku yakin yang kami minum adalah soda karena aku mengenali merknya. Padahal dia sudah tahu bahwa aku suda tidak dapat merasa haus, tapi, dia tetap membaginya padaku. Aku baru menenggak minuman berkarbonasi itu beberapa kali saja dan aku berkata, "Awalnya kupikir, kamu akan membawaku ke mana. Ternyata, kamu mencari sesuatu untuk diminum."

      "Ya, tidak apa-apa. Untuk permulaan bisnis tidak apa-apa, kan?" ucapnya, "Lagipula kaleng ini dapat kita jadikan untuk bahan modal kita yang selanjutnya."

      "Oh, benar katamu. Ini dapat kita gunakan." ucapku, "Semoga barang dagangan ini bisa laris."

      "Iya, tepatnya, harus laris." serunya, "Karena koin-koin itu adalah uang terakhir yang kumiliki."

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang