Chapter 6

151 11 1
                                    

           Suasana hening seketika. Jauh lebih sepi dari biasanya ketika remaja itu menyebutkan kalimatnya. Aku bisa merasakannya, aura dan perasaan sedih, tidak enak untuk mengutarakan hal yang menjadi permasalahan anak itu. Aku memberanikan diriku untuk bertanya, "Ada apa pada mereka?" tapi remaja itu tidak menjawab pertanyaanku untuk beberapa saat. Dia berkali-kali menarik napasnya dengan berat lalu berbalik membelakangi foto-foto itu, "Mereka pergi."

          Aku melihat dia berjalan menjauh. Menyusuri padang rumput yang luas ini tanpa sedikit pun melihat ke belakang. Bahkan ke arahku pun tidak. Saat dia berjalan, aku bisa melihat betapa kontrasnya dirinya dengan padang rumput yang dia lewati. Tubuh kurus dengan kaos berlengan pendek berwarna abu-abu dengan corak-corak hitam itu mungkin memang cocok untuknya. Pantas berdampingan dengan pundaknya yang tampak ringkih menopang lehernya yang ramping. Mengenakan celana panjang yang juga berwarna kelabu sementara rerumputan hijau dan bunga-bunga berwarna merah terang berada di sekitarnya.

           Mungkin remaja itu, anak itu memang kesepian. Dia menyembunyikan rasa itu dengan senyuman, dengan tawa. Bahkan tidak malu-malu untuk melakukan hal bodoh untuk mengundang tawa. Walau menurutku yang dia lakukan sama sekali tidak lucu. Sejak awal aku sudah merasakannya. Dia memendam sesuatu di dalam dirinya. Tapi sudah berapa hari ini dia seperti tidak ingin membahas masalahnya itu. Aku mengangkat kepalaku, menatap langit yang selalu mendung ini. "Masih adakah cahaya di tempat ini?"

                                 ***

      "Oh, kamu datang juga akhirnya." ujarnya dengan kedua tangan mengenakan sarung tangan memegang panci berisi air panas, "Lihatlah, kamu basah kuyup."

      "Begitukah?" benar, sekujur tubuhku basah. Tempat ini selalu hujan. Sepertinya aku beruntung indraku sudah tumpul. Aku sama sekali merasa dingin.

      "Astaga, kamu itu sebenarnya sudah umur berapa, sih? Masa masih suka hujan-hujanan?" ucapnya saat dia melap kepalaku dengan kasarnya sampai kepalaku hampir terputar.

      "Sudah! Biar aku saja yang melakukannya!" aku merampas handuk yang digunakannya untuk melap kepalaku dengan paksa. Aku memang sudah tidak merasa sakit. Ya, aku sudah mengatakan itu berkali-kali. Tapi, bagaimana bila karena kasarnya tangan anak itu justru membuat kepalaku terlepas lagi?

      "Woah, bisa marah juga kamu." dia tertawa.

      "Kenapa sih, sukanya mengerjai orang?" ujarku sambil melap tubuhku sekering-keringnya. Anak itu masih saja tertawa. Dia mudah tertawa pada hal-hal kecil. Mungkin karena telah lama dia tidak merasa bahagia. Aku tidak paham. Indraku sudah tumpul. Sudah hampir tidak merasakan apa-apa lagi. Tapi, kenapa aku seperti dapat merasakan emosi remaja ini?

      "Anu, aku ingin bertanya."

      "Hah? Lagi?" ucap anak itu dengan sedikit tidak jelas karena belum selesai tertawa. "Apa lagi yang ingin kamu tanyakan?"

           Aku terdiam sejenak. Anak itu juga akhirnya berhenti tertawa. Dia menatapku, "Ayo kita duduk dulu." dia menyilakanku duduk. Aku duduk tidak jauh darinya. Dia menuangkan air panas itu ke dalam cangkir miliknya dan cangkir lain yang dia sodorkan padaku. Dia bilang itu teh. Dia juga mengatakan bahwa dia menambah gula lebih banyak untukku.

      "Terima kasih." pada akhirnya hanya itulah yang kuucapkan. Dalam beberapa saat tidak ada dari kami yang berbicara. Suara guntur terdengar cukup kencang dari luar.

      "Jadi begini, aku yakin kamu penasaran dengan tempat ini, bukan?" tiba-tiba remaja itu berbicara. Aku menjawab, "Iya."

      "Kalau begitu aku akan bercerita." dia meletakkan cangkirnya di lantai, "Cerita ini akan panjang. Tentangku, tentang tempat ini, tentang foto-foto itu. Juga tentang kota yang merenggut mereka dariku."

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang