"Apple ... Candy ..." ujar Caramel perlahan dengan tatapan terkejutnya, "Jadi, dari awal kamu sudah tahu tentang desa ini?"
Aku menunduk, seketika menggigit bibir bawahku. Tolong, jangan tanyakan lebih jauh lagi, itulah yang aku harapkan dari dalam hati, kata yang terus kuteriakkan dalam dada namun tidak sanggup kukeluarkan lewat mulut.
"Jadi, sejak awal kamu sudah terlibat?"
Berhentilah.
"Jadi, sejak awal kamu sudah mengenal kami?"
Tolong, berhenti.
"Sejak awal kamu sudah tahu masalahnya? Kamu-"
Berhentilah.
"Itu artinya, kamu tahu,'kan apa yang terjadi di sini?"
Diamlah.
"Kamu-" "Kamu-"
Kenapa dia terus bicara? Kata-kata anak itu jadi tidak jelas karena pikiranku yang sudah semburat. Awalnya, kupikir, ingatan yang kabur itu buruk. Tapi, ternyata ingatan masa lalu yang menyakitkan jauh lebih mengerikan.
"Kamu-"
"DIAMLAH!!!"
Sunyi, semua seketika terasa sunyi. Padahal, badai di luar masih menerjang, belum berhenti dari amukannya. Namun, ruangan ini terlalu sepi bagai ruangan kosong tanpa penguni tepat setelah aku meninggikan suaraku padanya. Dia langsung diam, tidak berucap juga tidak bergerak, berkedip pun tidak.
"Bisakah kamu diam?" berat, seluruh tubuh ini terasa berat. Ada air yang menetes di hadapanku, mungkin ruangan ini sudah bocor, "Tolong, diamlah." tapi, sepertinya aku salah. Ruangan ini tidak bocor, akulah yang menangis.
Sekarang, semua jadi terbalik. Awalnya, anak itu yang menangis, tampak putus asa dengan segalanya. Namun, sekarang, akulah yang menangis di hadapannya. Bagaikan orang yang tidak tahu malu. Padahal aku selalu berkata padanya agar tidak menangis. Tapi, di sinilah aku sekarang, mengeluarkan semuanya, menangis sejadi-jadinya. Rasanya sedang seperti menjilat ludah sendiri. Aku malu, sangat malu karena ternyata aku tidak lebih dari orang bodoh.
"Kamu, berhentilah menangis." ucap Caramel, "Kalau kamu menangis, aku juga menangis." manik cokelat anak itu sudah berlinang air lalu mengalir melewati pipi dan pada akhirnya jatuh juga ke bumi, "Berhentilah, dan katakan padaku, ada apa? Apa yang terjadi selanjutnya? Apa yang terjadi padamu?"
Kerongkongan ini rasanya sudah sakit, aku berteriak-teriak di dalam tangis.
"Apple! Katakan padaku, sekarang!" tegasnya, "Tolong, ceritakan padaku semuanya dengan jelas. Karena jika tidak, aku tidak akan paham. Orang tidak berpendidikan seperti aku, tidak akan mengerti, Apple!"
Kedua tangan itu meraih tanganku, "Jangan takut, Apple. Aku masih di sini,'kan? Seperti katamu, aku tidak akan menyerah. Apa perlu aku berjanji padamu? Tapi, tolong, kumohon dengan sangat, beritahu aku semuanya. Semua yang kamu tahu tentang desa ini, tentang kota itu, tentang kami, tentangku karena aku sudah tidak ingat, juga tentang dirimu. Iya, tentang kamu karena itu yang terpenting sekarang."
Pandanganku kabur, tapi anak itu tidak berhenti menguatkanku.
"Kita teman,'kan?" ujarnya yang sontak membuatku langsung berhenti, "Kamu sudah tahu desa ini sejak lama. Kamu membaur dengan masyarakatnya, mungkin juga denganku, tapi masalahnya aku tidak ingat. Aku tidak ingat, bisa jadi kita pertama kali berelasi bukan saat aku menemukan jasadmu di sungai. Barangkali, kita sudah berteman saat itu, aku juga saudara-saudaraku mungkin sudah berteman denganmu beberapa tahun silam, saat desa ini masih berdiri kokoh."
Air mataku seketika mulai menetes lagi, bukan karena sedih, tapi haru. Anak ini benar-benar memiliki hati yang lembut. Sangat kontras senganku.
"Jadi, kamu bisa percaya padaku, Apple." ucapnya, "Tolong, lihat aku sekarang dan mari saling percaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
General FictionAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...