Chapter 2

211 13 3
                                    

           "Namaku?" kutatap wajah remaja di hadapanku itu dengan kedua tangan yang masih memegang cangkir teh yang disuguhkan olehnya itu. Hujan turun semakin lebat, angin pun semakin kencang menerpa. "Aku tidak tahu." jawabku padanya setelah terdiam sejenak. Benar, aku tidak ingat apa pun, bahkan namaku sendiri. Lalu, ada sesuatu juga yang kulupakan, apa, ya? Pikiranku kosong, sudah tidak terpikirkan apa-apa lagi. Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, tapi sepertinya emosiku telah menumpul. Begitu berbeda rasanya.

           Remaja itu menghela napas lalu menggaruk-garuk kepalanya, rambut cokelat pendeknya yang berantakan itu semakin berantakan saja setelah diusapnya, "Baiklah, kamu tidak tahu namamu. Berarti kamu juga tidak tahu siapa dirimu. Itu artinya kamu juga tidak tahu di mana tempat tinggalmu, bukankah begitu?" dengan refleks, aku mengangguk. "Ya, sudah. Kalau begitu, untuk sementara ini tinggal saja di sini." katanya.

      "Tinggal di sini?" tanyaku padanya.
      "Iya, di sini. Di tempat ini, bersamaku yang merupakan satu-satunya orang yang tersisa di tempat yang telah lama ditinggalkan ini." remaja itu tersenyum.

           Kalau dilihat-lihat, memang tempat ini sangatlah sepi. Hanya terdengar kegaduhan badai dari luar dan suara kami yang berbincang. Mungkin anak ini kesepian. Itulah yang terbesit di pikiranku saat melihat ekspresi wajahnya yang tampak senang ketika mengetahui bahwa aku tidak tahu lagi tempat tinggal awalku.

      "Baiklah." ucapku.

      "Oh, benarkah?" sesuai dugaanku, dia kegirangan, "Kalau begitu, bagus." dia berdiri, "Kamu boleh tidur di sini" ujarnya sambil menunjuk kasur yang dibeberkannya di lantai barusan.

           Remaja laki-laki itu kembali duduk di depan, berhadapan denganku. Dia tertawa. Secara tidak sengaja, aku malah merasa iba padanya. Aku menyeduh tehku, setelahnya, aku bertanya lagi padanya, "Maaf, apa benar ini teh? Apa kamu tidak dapat merebus air?" dia menjawab, "Enak saja, tentu saja aku bisa. Apa ada masalah?"

      "Rasanya hambar. Tidak ada panas-panasnya juga." ucapku, "Aneh, sama sekali tidak terasa panas, hangat pun tidak, padahal ada uap yang mengepul."

           Remaja itu menatapku, "Begitu rupanya, sepertinya setelah kamu mati, indramu jadi tumpul. Kamu sudah tidak merasakan panas pada teh buatanku, padahal aku selalu membuat teh dengan air yang panas. Kamu juga tidak merasakan rasanya, padahal aku sangat suka teh yang manis, aku memberi lumayan banyak gula. Tadi, kamu juga bertanya padaku, perihal cuaca di sini di mana kamu bertanya padaku apakah dingin. Aku yakin, kamu juga tidak merasakan hawa dingin di sini."

      "Apakah itu wajar? Apa tidak apa-apa?" ujarku.

      "Aku, kan, bukan dokter. Jadi, jangan minta konsultasi padaku, karena aku sendiri juga tidak tahu. Tapi, kamu ini, kan, mayat hidup. Jadi, sepertinya tidak apa-apa."

      "Oh, begitu, ya .." benar, aku sudah mati, tidak mungkin rasanya ada orang yang lehernya putus dan dia masih dapat hidup sebagai manusia.

      "Tapi, jujur saja, aku bersyukur."

      "Kenapa?" ujarku.

      "Karena tehmu tidak mengalir ke luar dari lehermu saat kamu minum tadi. Aku takut jahitanku tidak kuat dan membuatmu tidak dapat makan, minum, ataupun berbicara."

      "Tunggu dulu, kamu yang menjahit leherku?" tanyaku langsung setelah mendengar apa yang dikatakannya soal jahitan di leherku.

      "Iya, aku yang menyambung kepala dan tubuhmu kembali dengan menjahit lehermu itu. Makanya, maaf saja jika jahitanku tidak rapi." ujarnya.

      "Tidak, bukan begitu. Itu artinya, kamu yang menemukan tubuhku, bukan?" tanyaku lagi.

      "Iya, benar. Aku menemukan kepalamu hanyut di sungai depan lalu aku memungut, menyusuri sungai dan akhirnya baru menemukan tubuhmu juga di sana. Setelah itu, aku baru menjahitnya dan jadilah kamu yang sekarang. Jujur, sebenarnya aku setengah tidak percaya kamu dapat hidup kembali."

           Keadaan hening sejenak. Aku terdiam, semua ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana bisa, bila aku ini sudah mati dengan kondisi tubuh di mana kepalaku terlepas dari tubuhku dapat hidup kembali? Ini sungguh mustahil. Di keheningan itu, remaja itu akhirnya mulai berbicara, "Itu sebabnya, karena suatu hal dan ternyata kamu justru hidup kembali, tadi aku memertanyakan identitasmu. Aku memertanyakan itu dengan niatan ingin membantumu. Bahwa sebenarnya, kamu itu mati karena apa? Apa kamu dibunuh?"

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang