Aku berlari sepanjang hamparan rumput yang luas ini. Kakiku yang tidak beralaskan sepatu dapat merasakan rerumputan yang tergesek di kakiku. Aku berlari dan sesekali melewati sungai dengan cara melompatinya. Ujung celana panjangku basah, itu sudah jelas. Tapi, aku tidak begitu memikirkannya. Karena aku telah memiliki ide yang bagus untuk meluluhkan hati anak itu.
Aku masih belum menyerah. Aku masih ingin mencoba merayunya untuk ke kota itu. Entah kenapa, tapi aku ingin dia bertemu kembali dengan saudaranya. Juga untukku, bisa jadi kasusku ada hubungannya juga dengan kota itu. Dan setidaknya, bila itu benar, mungkin aku bisa mendapat setidaknya sedikit teka-teki asal-usul dan kematianku. Karena aku berpikir, jika aku terus berada di tempat ini, tanpa melakukan apa pun. Bahkan, sampai aku berlumut suatu hari nanti, aku tidak akan menemukan jawabannya.
"Caramel!" teriakku memanggil remaja itu.
Dia yang sedang mengais tanah di dekat sungai, yang entah sedang mencari apa di sana, akhirnya menoleh juga ke arahku, "Ada apa lagi?"
"Lihat ini!" ucapku sambil mengangkat bunga dengan pot berupa kaleng soda itu.
"Iya, itu bunga. Lantas, apa?" katanya sambil mengernyitkan dahi tanda heran.
"Iya, ini bunga. Aku juga tahu kalau ini bunga. Tapi, tidakkah kamu melihat keunikannya?"
"Um ..." oh, dia berpikir.
Aku menghela napas, "Haaah ... Masa tidak tahu? Ini lho, ini!" aku menunjuk kaleng soda yang menjadi wadah bunga itu.
"Iya, itu kaleng soda." ujar remaja itu, "Aku tahu itu. Apa kamu tidak pernah melihat kaleng soda?"
"Aku pun tahu kalau ini adalah kaleng soda, Caramel. Tapi, tidakkah kamu melihat peluangnya?" ucapku.
"Peluang? Peluang apa?" dia masih saja bingung.
"Ya, peluang. Di luar sana, orang biasanya menggunakan pot untuk menanam bunga, tapi lihatlah, bunga ini tumbuh di dalam kaleng soda, bukankah ini unik?" ujarku, "Maka, Caramel, ini dapat kita gunakan untuk berbisnis."
"Berbisnis?" tanyanya.
"Iya, berbisnis. Kita dapat mendapatkan uang dengan ini! Kita dapat meninggalkan kesan menganggur dan dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai guna dengan apa yang banyak bertebaran di sekitar kita ini, Caramel." sahutku bersemangat, "Caramel, cobalah kamu berpikir sekali lagi. Apakah kamu ingin berdiam diri sepanjang hidupmu di tempat ini tanpa melakukan apa pun?"
"Um ..."
"Apa kamu ingin di tempat ini hingga akhir hayatmu, hingga kamu berlumut dan berjamur di tempat ini tanpa melakukan sesuatu?" tanyaku lagi, tapi dia tidak menjawab apa-apa.
"Caramel, ayolah ... Ini juga demi kebaikanmu. Ayo kita lakukan ini bersama. Toh, kamu tidak sendiri, kan? Masih ada aku di sini." Rayuku seperti anak kecil yang meminta permen.
"Jika memang itu keinginanmu, lalu akan dijual ke mana tanaman itu? Manusia yang tersisa di sini hanyalah kamu dan aku." ujarnya.
"Tentu saja, kita jual ini ke kota." jawabku dengan menegaskan kata terakhir, "Aku yakin, di kota itu belum ada yang seperti ini."
"Jikalau ingin dijual di kota, memangnya kamu yakin, yang seperti itu akan laku?" dia bertanya.
"Ya, tidak tahu. Tapi, siapa tahu laku. Kita tidak akan tahu bila tidak mencobanya sama sekali, Caramel." jawabku.
Dia terdiam, menundukkan kepalanya dan memalingkannya daripadaku. Salah satu tangannya masih menyentuh tanah yang membuatnya itu kotor.
Kesabaranku sudah mulai habis. Sampai-sampai aku berkata padanya, "Terserahlah, aku sudah lelah." dia mengangkat kepalanya, "Aku sudah lelah membujuk orang yang tidak ingin diajak maju. Lakukan saja kegiatan tidak guna itu terus hingga kamu mati, membusuk di tempat ini. Aku sudah tidak peduli lagi." aku membalik tubuhku, "Kenapa, sih kamu tidak ingin pergi ke tempat itu? Apa karena gengsi? Apa pun itu, sikapmu itu sangatlah bocah!" aku mulai melangkahkan kaki, "Jika kamu tidak ingin pergi, maka aku akan pergi sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
Ficção GeralAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...