"Hei, jangan berlarian! Nanti jatuh."
"Kalau begitu, kejar aku jika ingin menghentikanku!"
Hari ini tidak hujan, mendung saja tidak. Sinar matahari begitu cerah menerpa hamparan rumput hijau dan bunga-bunga merah itu melambai terterpa angin ringan. Gedung-gedung yang sudah rusak dibiarkan seperti itu dengan perabotannya yang masih utuh. Anak-anak itu tampak girang, bermain dan berlarian di sana.
"Ayo, berpose. Cheese!!!" mereka berfoto di depan bangunan hancur itu dengan senyuman pada wajah mereka. Beberapa orang yang lain juga melakukan swafoto atau pun hanya sekadar mengambil gambar pemandangannya. Entah sudah berapa lama semenjak kejadian itu. Caramel, akhirnya dia memutuskan untuk menetap di sana.
Dia menetap di desanya, tapi tidak menutup dirinya pergi ke kota. Semenjak kejadian itu, semenjak dia kehilangan sosok yang sudah dianggapnya teman. Dia memberanikan diri pergi ke kota, dia pergi ke tempat itu berkali-kali. Menjajakan bunga merah tanpa nama sambil memerkenalkan desanya pada orang-orang kota. Caramel menabung dari hasil berjualannya sampai akhirnya dia bisa membeli sebuah kamera.
Kamera itu dibuatnya untuk memotret keadaan desa beserta pemandangan alamnya. Foto itu akhirnya dia jadikan bukti tentang keberadaan desanya pada orang-orang kota. Semenjak itu, orang-orang berpikiran modern itu mulai tertarik akan keindahan desanya walau sudah hancur. Satu per satu orang datang dan mulai memerkenalkan desa itu pada dunia melalui ucapan mulut ke mulut hingga akhirnya desa itu terkenal ke penjuru dunia lewat internet.
Banyak orang datang, banyak juga dari mereka yang menawarkan untuk membeli lahannya untuk dibangun kembali. Namun, Caramel hanya tersenyum sambil menolak halus. Katanya, "Biarkanlah desa ini tetap seperti ini dan menunjukkan bukti sejarahnya."
Caramel juga sudah sangat sering didatangi wartawan untuk ditanyai. Beberapa wartawan bertanya perihal mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana bisa mayoritas bangunannya hancur, tetapi tidak pada perabotan dan isinya? Sesungguhnya, Caramel mengetahui sebabnya. Tapi, untuk perntanyaan itu, dia mencoba untuk membungkam dan akhirnya pertanyaan itu dijawab, mungkin jawabannya akan terdengar bodoh karena dia berkata, "Itu karena badai hebat beberapa tahun silam."
Iya, bodoh. Jawaban itu terdengar sangat bodoh. Bagaimana bisa badai tersebut menghancurkan semua bangunan namun tidak menggores sedikit pun benda di dalamnya? Tapi, mungkin Caramel beruntung, pihak wartawan tidak memertanyakan itu lagi. Sebenarnya, Caramel mengetahui keadaan desanya melebihi siapa pun. Tentu karena dari awal hingga akhir dia masih menetap di desanya walau sudah setengah hancur.
Dia tahu benar masalahnya, dia tahu benar apa yang menimpa desanya. Tapi, dia mencoba membungkam, bahkan dia tidak memberitahu sahabatnya itu. Biarlah menjadi rahasia yang hanya dialah yang mengetahuinya. Tentu, itu karena dia tidak ingin mengungkit-ungkit masalah yang sudah berlalu, dia tidak ingin menyulut api permasalahan yang justru akan merusak apa yang sekarang sudah dia raih.
Dia tidak ingin ribut dan mengajak perang pihak lain. Karena dia tahu, bahwa seseungguhnya desa itu tidaklah hancur akibat badai atau yang semacamnya. Namun, dihancurkan. Bangunannya dihancurkan dengan sengaja oleh orang-orang dari desa lain itu agar para warganya berpindah ke tempat mereka. Itu sebabnya, sebahagia apa pun dia, sebenarnya dia tidaklah benar-benar bahagia. Dia berusaha keras agar tidak bersedih, agar mengikhlaskan apa yang sudah direnggut darinya.
Sekarang, tempat ini sudah menjadi tempat wisata yang digandrungi para turis. Itu sudah cukup membuatnya senang. Kekosongan setelah ditinggal sahabatnya itu perlahan-lahan mulai terisi kembali.
Caramel berjalan, menyapa turis-turis itu. Dia tidak ingin menyimpan dendam pada mereka karena dia yakin, tidak semua orang yang berkunjung merupakan orang jahat yang dulu dengan sengaja merusak kebahagiaannya. Itu sebabnya, dia tetap berusaha ramah, tetap tersenyum walau mungkin senyum itu palsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
General FictionAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...