"Aku tidak tahu." benar juga, bagaimana aku bisa mati? Bagaimana aku tewas dengan mengenaskan dengan kepala terputus seperti ini? Hal ini benar-benar baru terpikirkan olehku. Apa aku dibunuh? Tapi jika aku memang benar dibunuh, siapa gerangan orang yang dengan kejinya memenggal kepalaku? Atau ini hanya kecelakaan? Tapi kecelakaan apa yang aku alami di tempat sesepi ini? Andai saja aku dapat mengingatnya.
"Oh, begitu ... Sayang sekali." ucap remaja itu murung. Tapi dia kembali berkata, "Hari sudah gelap, marilah kita tidur." remaja itu mengeluarkan sehelai tikar yang telah usang dari tumpukan barang miliknya, "Besok, ikutlah denganku. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." lalu dia langsung tidur di atasnya. Aku mengerutkan dahi, benar-benar heran dengan remaja ini. Entah hanya perasaanku saja, tapi menurutku dia aneh.
***
Aku ini siapa? Dari mana? Apa pekerjaanku? Apa yang kulakukan di tempat ini? Apa yang terjadi padaku?
Sinar matahari menyilaukan dan membangunkanku. Hujan badai itu telah berhenti. Suara burung juga dapat didengar. Aku duduk sejenak menatap ke luar bilik, aku dapat melihat dengan jelas keadaan di luar karena plastik yang digunakan remaja itu untuk menutup bilik ini telah dimasukkannya kembali.
Aku berdiri lalu mulai berjalan ke luar. Aku, dengan hanya mengenakan kaos dan celana panjang tanpa beralaskan kaki itu mulai menginjak rumput. Aku dapat merasakan teksturnya dan masih tersisa rasa basah akibat hujan kemarin. Aku dapat merasakan angin yang berembus kencang menerbangkan rambut hitamku tapi aku tidak tahu apakah angin itu dingin atau tidak.
"Oh, kamu sudah bangun?" sahut remaja itu dari arah belakangku, "Kalau begitu, ayo sarapan dulu." ucapnya sambil menunjukkan ikan-ikan besar di tangannya. Kami pun memotong ranting dari pohon yang ada untuk dijadikan semacam api unggun dan membakar ikan-ikan itu. Memang tidak banyak pohon di sini. Tapi dengan padang rumput yang luas menjadikan tempat ini cukup seimbang.
Dia memakan ikan-ikan itu dengan lahap, "Ayo dimakan." ucapnya menyilakan aku untuk segera menyantap hidangan. Tapi aku belum juga memakannya, aku berkata jujur padanya bahwa aku tidak lapar. Tapi dia justru terlihat tersinggung sambil berkata bahwa dia tidak peduli apakah aku ini sudah mati atau masih hidup, tidak peduli apakah aku masih memiliki nafsu atau tidak. Bila dia makan ataupun minum, bila ada orang di sekitarnya, maka dia harus membagi dan menyilakan orang itu juga.
Akhirnya aku menuruti perkataanya, aku memakan ikan itu hingga habis. Aku tidak tahu apakah ikannya enak atau tidak. Aku tidak merasakan apa-apa. Tubuhku sudah mati rasa. Tapi dia tersenyum di sana sambil berkata, "Enak sekali." tampak sekali raut wajah bahagia dengan makanan buatannya itu.
"Ngomong-ngomong, tahu tidak?" katanya, "Dari mana aku mendapat bahan sarapan kita?" aku menggeleng. Dia berdiri, menarik lengan bajuku dan menggiringku ke depan sungai di sana. "Dari sini." ucapnya sambil menunjuk apa yang ada di dalam sungai. Sungai itu begitu jernih hingga aku dapat melihat dengan jelas bebatuan dan ikan yang dengan bebasnya berenang.
"Tunggu sebentar, ya." remaja itu pergi. Aku bertindak sesuai perkataannya dengan tetap berdiri di tempatku itu. Aku melihatnya dari kejauhan, remaja itu kembali dengan membawa sepeda dengan keranjang di depannya.
"Ayo naik."
***
Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, tapi aku merasa aneh karena remaja ini, anak yang kuyakini lebih muda dariku ini yang mengayuh sepedanya, memboncengku di belakang entah ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
Fiksi UmumAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...