Chapter 8

152 10 1
                                    

           "Waktu itu kami semua langsung terdiam tanpa memahami maksud sesungguhnya dari ucapan Bibi Ann. Sampai beberapa hari kemudian kami benar-benar kehilangan dia." ucapnya sambil memegang cangkir tehnya, "Dia meninggal seminggu setelah dia berkata demikian."

           Aku mendengarkan ceritanya dari awal hingga sekarang dan belum sempat berucap sepatah kata pun. Aku tidak tahu harus membalas kisahnya dengan apa. Tidak ada hal yang terpikirkan di benakku untuk kulontarkan padanya. Tapi, melihatnya yang seperti itu membuatku tidak kuasa. Dia mulai menangis. Air matanya mengalir melewati kedua pipinya dan akhirnya tetesan air itu jatuh ke dalam cangkir tehnya. Bercampur dengan air teh yang masih tersisa, dia meletakkan cangkirnya kembali.

      "Ah, jadi menangis lagi. Aku tidak boleh menangis." dia mengusap air matanya, "Tidak boleh jadi cengeng. Karena itu adalah salah satu pesan dari Bibi Ann pada kami." napasnya tidak karuan. Dia tampak sesak.

      "Menurutku, menangis sekali-kali tidak apa-apa." akhirnya aku berbicara, "Karena memang ada waktunya kita boleh menangis, kok. Kamu masih bisa menangis, itu artinya perasaanmu masih tajam. Menurutku, itu bagus."

      "Begitukah?" katanya, "Tapi masalahnya, ini baru awal cerita dan aku sudah menangis, lho. Masih banyak yang belum kuceritakan."

      "Oke, oke. Kamu boleh menceritakannya kapan saja. Tapi, tolong, bersihkan dulu ingus yang mulai menggantung itu. Itu menjijikkan." ujarku sambil menunjuk benda berlendir di wajahnya.

            "Oh, maaf." wajahnya memerah malu dan dia bergegas mencari lap dan air untuk membersihkannya. Astaga, anak ini memang unik.

                                  ***

           Hari esok datang lagi. Kami melakukan kegiatan seperti biasa. Aku dengan tidak melakukan apa-apa dan dia yang selalu melakukan aktivitas tidak bernilai guna itu di sini.

      "Oi! Aku dapat katak!" dia berteriak dari kejauhan, "AAAAAKKH!!! Kataknya masuk ke dalam baju!" oke, sekarang dia mulai berlarian.

                                  ***

           Hari sudah mulai gelap. Gelap karena memang sudah menjelang malam, bukan karena akan hujan. Anak itu datang padaku dan mengajakku ke suatu tempat. Aku hanya mengikutinya dari belakang. Dia lincah sekali. Akhirnya kami sampai di tempat pada waktu itu aku menemukan bunga-bunga merah dan foto-fotonya.

      "Di sini?" tanyaku.

      "Iya, di sini. Memangnya kenapa?" jawabnya dengan santainya. Aku heran. Padahal, kupikir setelah dia menceritakan padaku tentang saudara-saudaranya dan Ann dia tidak ingin ke tempat ini lagi. Tapi ternyata tidak.

      "Ayo duduk." ujarnya yang membuatku ikut duduk di sampingnya.

      "Apa yang akan kita lakukan?" tanyaku lagi.

      "Ya ... Tidak ada. Kita hanya akan melihat bintang." jawabnya.

      "Kamu tampak senang."

      "Oh, iya. Itu sudah jelas. Karena suatu kejadian langka dalam satu hari tidak hujan di daerah ini." ucapnya dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya, "Karena kalau hujan, kan, tidak bisa melihat bintang."

           Dia mendongak ke atas, aku mengikutinya. Sudah malam, sudah gelap. Tapi di langit yang hitam itu aku melihat kilapan cahaya-cahaya kecil. Itu bintang, "Indah." kataku.

      "Indah, bukan? Tapi dulu lebih indah lagi. Dulu masih banyak bintang bertaburan di angkasa sana yang dapat dilihat dari tempat ini. Tapi, sekarang lihatlah. Hanya ada beberapa saja yang dapat kita lihat. Dan dulu juga banyak orang di sini." tiba-tiba dia merendahkan nada bicaranya.

           Aku mencoba bertanya, "Sekarang mereka di mana?"

      "Hm? Siapa?" tanyanya kembali padaku.

      "Ya ... Penduduk yang dulunya tinggal di sini. Saudara-saudaramu juga." kataku.

      "Ya, itu seperti yang kukatakan kapan hari. Mereka pergi. Mereka pergi diambil oleh kota itu."

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang