Chapter 10

134 12 0
                                    

           Aku berbaring di atas rerumputan yang lebat ini sambil berpikir, sudah berapa hari, ya anak itu jadi begitu? Semenjak hari itu aku mengajaknya pergi ke kota, dia mulai berubah. Dia seperti menjauhiku, tidak menghiraukanku sama sekali. Ketika aku menyapanya, dia langsung membuang mukanya. Saat aku ingin berbicara, dia langsung pergi begitu saja mencari segala kesibukan yang seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, sama sekali tidak bernilai guna.

           Aku terbangun dari tempatku berbaring dan mencoba kembali membujuknya. Dia menghindariku, terus menghindariku. Tapi aku tetap mengikutinya. Aku mengikutinya kemana-mana, sengaja agar dia kesal. Kami mengitari tempat yang luas ini dan terus memutarinya. Eh, dia berhenti. Apa dia sudah berubah pikiran? Ya, awalnya kukira begitu. Tapi, ternyata tidak. Ternyata dia justru mengajakku bermain kejar-kejaran. Dia berlari, sangat kencang. Dengan spontan, aku jadi ikut berlari mengejarnya.

           Dia berlari, melompati sungai itu juga beberapa kali. Aku terus mengikutinya dari belakang. Kira-kira sudah berapa jauh, ya aku berlari dari tempat awal? Aku bertanya-tanya. Karena aku sudah merasa berlari jauh tapi tidak ada rasa penat sedikit pun yang kurasakan. Sedikit demi sedikit jarak di antara kami semakin berdekatan. Langkah kaki remaja itu sepertinya sudah tidak sanggup lagi. Dia sedikit demi sedikit memerlambat langkahnya hingga akhirnya dia benar-benar berhenti. Dia memegangi kedua lututnya, napasnya tersengal-sengal, keringat mulai mengucur di wajahnya.

      "Apa, sih maumu?!" Oh, akhirnya dia marah juga, "Aku tidak ingin pergi ke tempat itu! Sama sekali tidak ingin!"

     "Tapi, bukankah saudara-saudaramu ada di sana? Apa kamu tidak ingin berkunjung dan menemui mereka?" kataku.

     "Kamu pikir aku tidak merindukan mereka apa?! Tentu saja aku ingin bertemu dengan mereka. Tapi, aku tetap tidak ingin pergi ke tempat itu!"

      "Tapi kenapa?" tanyaku lagi.

            Dia melepas pegangan dari lututnya, mengatur napasnya, lalu berdiri tegak menghadapku, "Dengar, ya. Kamu mayat hidup, dengarkan aku baik-baik!" Oke, ini dia, "Alasanku tidak ingin pergi ke tempat itu adalah ..." dia menjeda kalimatnya, "Karena tidak ada kegiatan berfaedah yang dapat kulakukan di sana!"

           Jujur, setelah dia berkata seperti itu, aku ingin berteriak, "APA?!!" yang kencang. Karena apa dia tidak berpikir? Memangnya yang selama ini dia lakukan di sini berfaedah?! Bernilai guna begitu? Apakah berlarian, berguling-guling di rumput, mengejar capung, dan menangkap katak itu BERFAEDAH?! Astaga, aku ingin marah, tapi akhirnya kutahan dan aku hanya mengatakan sedikit dari hal yang ingin kukomentari sambil mengangkat kedua jari di kedua tanganku untuk mengisyaratkan tanda kutip untuk kata terakhirnya, "Maaf, tapi apakah selama ini kegiatan yang kamu lakukan di tempat ini 'berfaedah'?"

      "Iya! Berfaedah sekali!"

      "APAA?!!!" ah, pada akhirnya aku benar-benar berteriak dan mengeluarkan semuanya, "Tapi, di mana letak faedah nilai guna dari kegiatanmu lari-lari, berguling di rumput, mengejar capung, dan menangkap katak itu?!!!"

           Dia terkejut, sangat terkejut. Dapat kulihat dari raut wajah dan gesturnya, "Ya, itu berfaedah. Jelas kegiatan itu bernilai guna." ujarnya, "Berlari-lari apalagi di pagi hari itu sangat bagus untuk tubuh. Itu adalah salah satu olahraga untuk menjaga jantung. Berguling-guling di rumput dan menghirup bau rumput dapat membuat moodmu lebih baik, itu bagus." katanya menjelaskan.

      "Kalau mengejar capung dan menangkap katak, faedahnya di mana?"

      "Itu dapat menghilangkan rasa stress!" jawabnya langsung tidak mau kalah.

      "Ah ..." aku memegang keningku. Rasanya pusing memikirkannya.

      "Sudahlah, lebih baik kamu menyerah saja. Aku tidak akan pergi ke sana lagi." begitulah ucapnya sebelum dia pergi meninggalkanku. Aku diam, berpikir, tadi dia berkata "ke sana lagi", bukan? Bukankah itu artinya dia pernah ke sana sebelumnya?

           Aku menarik napasku, berusaha bersabar pada anak itu. Aku membuka mataku dan kulihat tidak jauh dari tempatku berdiri ada bunga-bunga merah seperti yang waktu itu kutemui. Aku berjalan mendekatinya dan kudapati bunga-bunga dengan daun-daunnya yang panjang itu tumbuh. Tapi, yang menyita perhatianku sebenarnya bukanlah dari tumbuhannya, tapi dari wadahnya. Dari tempat bunga itu tumbuh. Bunga-bunga itu bukannya tumbuh di pot, melainkan di dalam kaleng soda. Aku punya ide.

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang