Anak itu mendekapku begitu erat. Dia berteriak, air matanya tidak berhenti mengalir, membasahi tubuhku juga. Jika saja aku masih dapat merasakan suhu, mungkin aku dapat mengetahui suhu tubuh anak ini yang kuyakini dingin. Angin dan hujan di luar belum juga reda dan waktu kami terasa berhenti di tempat ini.
Mungkin tidak terlalu masalah bagiku karena sejak awal aku memang sudah mati. Tapi, mungkin akan menjadi masalah yang cukup besar untuknya yang masih bernapas. Karena jika dia berhenti, aku tidak ingin dia berakhir sepertiku. Aku sangat tidak ingin. Kumohon, jangan ada lagi korban.
"Caramel, boleh aku berkata sekarang?" ucapku, tapi dia masih cukup berisik sampai aku menahan diri untuk beberapa saat lagi. "Caramel, tolong dengarkan aku."
"Kenapa aku harus?" wajah anak itu merah, matanya sembab.
"Karena mungkin kamulah orang terakhir yang kuajak bicara."
Seketika dia berhenti, terdiam, "Apa katamu?" dia melepas dekapan itu dariku, "Apa maksudmu? Apa kamu akan pergi?" aku menggigit bibir. Apa yang harus kukatakan agar dia paham?
"Apa kamu akan pergi, mayat hidup? Apa kamu juga akan pergi seperti saudara-saudaraku? Apa aku akan kembali pada kehidupanku yang hampa, seorang diri di tempat yang sudah mati ini?"
"Tidak! Tempat ini belum mati!" kedua tanganku dengan spontan meraih wajahnya, mengarahkan agar dia melihatku, "Caramel, tolong mengertilah, aku sudah mati."
"Iya, aku tahu kamu itu sudah mati!" dia menyentakku keras, "Aku yang menyambungkan kepalamu! Dan, lalu kamu bangkit, bangun dengan ajaibnya. Tahukah kamu apa yang kurasakan ketika kamu bangun dari rerumputan itu?!" matanya berkaca-kaca, "Aku senang, aku senang sekali saat itu." kedua tangannya menutup wajahnya, "Aku ingin melompat-lompat karena girangnya. Karena kupikir, akhirnya ada orang yang akan tinggal di sini bersamaku. Orang yang sekiranya mau menemaniku di sini."
"Caramel, aku-"
"Tapi, mungkin sejak awal memang aku yang salah. Karena terlalu banyak berharap, tanpa melakukan usaha. Iya, aku yang salah." dia berucap dengan napas yang tidak karuan.
"Caramel, kita semua punya salah." aku mencoba membuka mulutku, "Kita semua pernah melakukan kesalahan semasa hidup. Aku juga pernah!"
Seketika, mata cokelat remaja yang sudah berpaling akhirnya kembali menatap mata hitamku.
"Aku pernah berbuat salah. Mungkin kesalahanku ini sangat besar, tidak akan bisa dimaafkan, bahkan untukku sekali pun. Aku tidak atau belum bisa memaafkan diriku sendiri."
"Apa yang sudah kamu lakukan?" tanyanya.
"Aku," sejujurnya, hati ini tidak sampai untuk mengutarakan kenyataan walau sudah kukuatkan hati ini untuk mengucapkannya, sesuatu yang menurutku sudah sangatlah tabu. Kedua manik cokelat itu melihat fokus ke arahku, aku bisa merasakannya.
"Aku membunuh."
Bola mata itu membesar, sudah jelas sekali dia terkejut. Aku sudah mengatakannya, mungkin dia akan takut padaku karena aku belum menjelaskan keseluruhannya. Tapi, memang, saat hidup aku pernah membunuh dan itu berakibat fatal bagiku.
Tapi, kenapa dia begitu? Kenapa tiba-tiba dia menunjukkan senyum dan berakhir dengan tawa?
"Astaga, jangan bercanda di saat seperti ini, mayat hidup. Wajahmu itu serius sekali tahu. Aku tidak tahan." ujarnya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Carame-"
"Tunggu dulu!" dia memotong ucapanku, "Yang benar saja, orang sperti kamu membunuh? Aku tidak percaya. Sungguh, aku tidak percaya, mayat hidup. Kamu sedang bergurau,'kan?" anak ini benar-benar tertawa terpingkal-pingkal.
"Bagaimana kalau kubilang bahwa aku sedang serius?" kataku.
"Tidak mungkin, mayat hidup." lagi-lagi dia berucap selayaknya dia meremehkanku.
"Caramel. Apa yang sudah kukatakan barusan adalah nyata. Aku serius." aku berusaha meyakinkannya.
"Lantas, siapa yang kamu bunuh?" anak itu bertanya sembari menahan tawa.
Sebenarnya aku tidak ingin berkata lebih jauh lagi. Tapi, akhirnya kubuka semuanya, kubuka semua yang kutahu, yang kuingat pernah kulakukan. Lalu pertanyaannya kujawab, "Aku membunuh diriku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel and Apple Candy
Ficción GeneralAku tidak ingat. Sudah tidak ingat tentang apa yang telah terjadi padaku dan siapa diriku. Saat terbangun, aku telah terbaring di padang rumput yang luas itu. Menatap langit yang mendung dan merasakan dinginnya angin yang berembus. Bau rumput yang k...