Debat

62K 4K 498
                                    

BRAK!

Sebuah meja ditendang hingga jatuh mengenai dinding kelas. Kursi kayu dengan kaki besi pun tak luput dari seorang pria yang kini sedang mengamuk tidak terkendali.

BRUK!

Kursi tersebut mengenai loker yang berada di bagian belakang kelas. Berbunyi nyaring hingga membuat murid di dalam terdiam senyap karena merasa segan untuk ikut campur dan juga ngeri dengan berandalan yang sudah terkenal seantero sekolah.

Sang pemilik kursi dan meja tersebut menatap beringas tidak takut. Matanya terpancar tajam menghunus dalam pada si berandalan. Tangannya terkepal menahan amarahnya. Tapi deru napasnya mampu terdengar mengalahkan detik jam yang selalu menjadi perhatian murid saat ingin memasuki jam istirahat atau pulang.

"Udah berapa kali gue bilang buat pindah?" Si berandalan dengan plester di bawah mata kirinya itu maju beberapa langkah. "Lo budek atau bego, hah?"

"Ehm, Ben nanti ada guru-"

"Diem lu!" Ben si berandalan itu membentak Gantar, ketua kelas dengan kacamata tebal dan kemeja yang dikancing hingga leher.

Namanya boleh terdengar sangar 'Gantar' tapi penampilannya bertolak belakang. Apalagi dia terkenal kutu buku, kurang pergaulan dan tergabung dalam organisasi bedah buku, dimana kegiatannya selalu membahas tentang serententan buku, baik tentang pelajaran, komik, novel sampai yang terberat seperti ensiklopedia. Tentu saja itu kelompok yang dibuat oleh pengolah perpustakaan sekolah bagi murid yang tertarik membaca.

"Lo gak denger kemarin? Anto udah nyuruh gue buat duduk disini dan lo di pojok sana." Ben menambahi kalimatnya sembari menunjuk ke sudut kelas yang memang jarang dipandang.

Anto adalah wali kelas mereka. Guru bidang matematika dimana itu menjadi pelajaran paling dibenci seumur hidup oleh seluruh murid sekolah.

"Lo gak ada hak buat ngatur gue untuk duduk dimana. Kenapa gak lo yang duduk di pojok? Cocok, kan? Tikus yang gak ada gunanya kaya lo, tempatnya di pojokkan."

SRET!

Ben menarik kencang kerah kemeja Reuben hingga dia tertarik mendekat. "Lo pindah kesana sekarang atau gue jamin hidup-"

"Benji! Reuben!"

Suara itu mendadak terdengar di gendang telinga mereka. Anto masuk ke dalam kelas tanpa disadari oleh para murid.

Memang kalau membahas guru yang satu ini selalu ada kesan menyeramkan darinya. Mulai dari wajahnya yang selalu mengerut tanpa senyum, badan tegap sambil membawa penggaris kayu di tangannya, serta langkah kaki yang tidak pernah terdengar.

Seperti sekarang ini, tiba-tiba saja guru itu muncul tanpa diundang.

"Ke ruangan saya! Sekarang!"

Tidak ada yang bisa menentang, membantah, melawan kata-kata Anto yang bahkan kucing peliharaan tukang kebun sekolah pun menunduk lewat di depannya.

Bola mata Anto silih berganti menatap dua muridnya yang sejak kemarin sudah membuat ribut. Ya, sejak kemarin saat Reuben baru hadir sebagai murid baru.

"Bapak gak bisa gitu! Ini kursi saya, dari awal saya duduk sini. Kenapa tiba-tiba ada orang lain?!" Ben yang datang terlambat mengernyit heran saat ada orang tidak dikenal duduk santai di kursinya.

"Kamu gak masuk selama seminggu tanpa keterangan, bapak kira kamu dikeluarin dari sekolah." Anto yang mengecek daftar hadir terlihat memaklumi kelakuan muridnya yang satu itu.

Benji atau yang lebih akrab dipanggil Ben memang sering membuat ulah. Entah itu mencoret tembok sekolah, merokok di koridor, menyalakan hydrant dengan alasan iseng semata atau ketawan membawa 'minuman oplosan' di kantung plastik yang disimpannya dalam tas.

Para guru dan kepala sekolah sering kali rapat mengenai kelanjutan masa depan Ben di sekolah ini. Ada alasan kenapa mereka tidak bisa sembarangan mengeluarkan Ben, selain karena Ayahnya adalah donatur terbesar yang menjadi tiang kesuksean sekolah swasta ini, juga karena Ben selalu menjadi juara dalam kompetisi olahraga, bahkan mendapat ranking tertinggi di sekolah. Dimana semua itu tentu menjadi kebanggaan bagi pihak sekolah karena memiliki murid cerdas dan menonjol.

Dan kata-kata Anto yang mengira Ben dikeluarkan adalah bentuk sindirian yang cukup menikam. Memang selain tampilan yang membuat takut, mulutnya juga lebih tajam dari ibu-ibu yang sering gosip di depan komplek.

"Ya tetep gak bisa gitu, pak! Dari awal udah ada perjanjian gak ada murid yang pindah-pindah tempat duduk." Ben tidak mau mengalah. "Sekarang malah bapak nyuruh orang lain dudukin kursi saya. Walaupun sering gak masuk, saya masih terdaftar sebagai murid di sekolah busuk ini."

Anto sudah kebal sekali mendengar ocehan Ben. Anak itu memang akan melawan jika dirinya tidak bersalah dan diperlakukan tidak adil. Dirinya akan diam jika memang dia ketahuan melanggar peraturan dan menerima apapun hukumannya.

"Yaudah, Reuben kamu pindah ke pojok sana." Anto menunjuk ke arah sudut kelas.

Sekarang Reuben malah berjengit menegakkan punggungnya. "Loh? Kenapa jadi saya yang pindah? Kan, bapak yang nyuruh disini."

"Tuhan, sabarkan hati saya." Gumam Anto.

Saat penggaris kayu yang sedari tadi tergeletak rapi di meja diambil Anto, serta wajahnya yang mulai menunjukan kerutan kekesalan. Reuben mulai merasa tidak nyaman, begitu juga Ben saat melihat guru itu berjalan mendekat.

TRAK!

Suara penggaris yang dipukul ke meja itu menggema begitu keras. Hingga patahannya terpental entah kemana. Terlihat begitu kuatnya tangan Anto yang kini sedang menunjukkan urat-uratnya.

"Mau badan kalian kaya penggaris ini?" Desisnya yang pelan itu justru lebih menyeramkan dibandingkan teriakkan.

"Iya, saya pindah." Reuben masih sayang dengan badannya sendiri, dia pindah dan duduk sembari mencebikkan bibirnya.

Ben yang merasa menang, menolah ke belakang menunjukkan cengiran meledek. Merasa terhina, Reuben mengacungkan jari tengahnya.

"Hei! Hei! Masih mau ribut-ribut?!" Anto kembali menegur mereka sampai membuat terdiam tidak berkutik.

Anto memijit pelipisnya karena merasa pening memikirkan kedua anak didiknya. Ini baru dua hari di semester satu, mengurus Ben saja sudah menguras tenaga, apalagi ditambah satu lagi yang sifatnya juga tidak jauh berbeda.

"Bersihkan toilet sekolah, dari lantai satu sampai tiga." Hukuman ini sebenarnya tidak akan ampuh untuk Ben dan sepertinya juga tidak akan berpengaruh pada Reuben.

Tapi Anto sudah terlalu malas memikirkan hukuman apa yang tepat hingga membuat mereka jera. Dia akhirnya mengambil hukuman yang sebenarnya termasuk ringan dan masih masuk akal.

"Seminggu lalu saya udah dapet hukuman bersihin toilet. Bosen, pak, yang lain gitu." Ben mendecak tidak menyukainya. "Lagian saya gak mau deket-deket dia."

Merasa ditunjuk oleh Ben, Reuben meliriknya dengan gahar. "Siapa juga yang mau deket lo."

"Saya pusing mikirin kalian, udah sana cepet pergi. Bersihin toilet, kalo belum bersih jangan harap bisa pulang. Saya bakal cek nanti."

Ini baru awal dari mereka yang selalu bertengkar tiap kali bertemu. Selalu meributkan hal kecil hingga membuat gempar sekolah. Berkelahi bagai musuh yang patut dimusnahkan.

Masa dimana putih abu-abu menjadi memori yang akan selalu terkenang ketika dewasa nanti. Karena apa yang terjadi pada mereka, takkan bisa terulang kembali.

•-•

Hai! Gue comeback setelah hibernasi yang berkepanjangan. Gak perlu dijelasin lagi kenapa gue sempet hilang dan gak lanjutin Gakari. Intinya sih sempet hilang semangat, gitu aja.

Sekarang gue udah balik dengan cerita baru. Fresh dengan karakter baru dan gak ada sangkut pautnya dengan cerita yang sebelum-sebelumnya.

Gue terinspirasi sama drama korea 'school' dimana ceritain serunya masa SMA. Mulai dari buat onar sampe cinta-cintaan. Semoga kalian suka sama cerita yang ini, karena gue buat seringan mungkin dan gak berbelit.

Jangan lupa vote dan yang terpenting komen, karena itu jadi salah satu pemacu gue 😉✌🏻

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang