Ben ikut turun setelah mengantarkan Reuben tepat sampai depan rumahnya. Memasukan motor besarnya ke dalam tanpa ijin.
"Lo ngapain? Pulang sana."
"Nemenin lo, lagian rumah lo gak ada orang. Lagi sakit begitu pasti lo butuh orang lain buat disuruh-suruh, kan?"
"Gue gak lumpuh, masih bisa gerak. Gak masalah sendirian di rumah."
"Tapi gue mau nemenin lo, gimana dong?"
Sudahlah, tidak ada ujungnya jika adu mulut dengan Ben. Malah kita yang jadinya kalah telak karena pria itu selalu bisa menjawab semua perkataan.
Reuben juga sudah mulai tidak memperdulikan sikap Ben yang begitu berubah kepadanya. Dia tidak mau pusing hanya untuk memikirkan itu. Jadi sebisa mungkin dia harus terbiasa dengan wajah sangar Ben yang berkelakuan manis padanya.
Coba kalian bayangkan saja, ada teman yang mempunyai mimik muka menyebalkan, menakutkan bagi orang-orang. Ditambah dengan wataknya yang keras dan sering membuat kegaduhan. Tiba-tiba baik dan begitu peduli pada kalian, apa itu tidak menyeramkan?
"Lo kaya gini bukan karena merasa bersalah sama gue, kan?" Reuben mengambil minuman untuk dirinya sendiri, sementara Ben duduk di ruang tamu.
"Gue lagi gak mau berantem."
"Siapa yang ajak lo berantem? Gue cuma nanya, karena lo yang sekarang cukup aneh."
Reuben ikut duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Ben dan kembali berbicara. "Gue gak suka dengan kecurigaan lo soal kesehatan gue malah jadi timbul rasa kasian kaya gini."
"Apa gue salah berusaha buat memperbaiki diri? Lo selalu mempersoalkan gue yang pengen jadi orang lebih baik. Gue mesti gimana? Jadi badung lagi kaya biasanya? Nanggepin semua ocehan lo dengan emosi gue yang meledak-ledak?"
Selalu ada hal yang mendasari mereka untuk bertengkar seperti ini. Entah salah satu yang tanpa bermaksud memancing emosi atau memang sebenarnya mereka tidak ditakdirkan untuk akur.
Ben yang masih dalam tahap mengontrol amarahnya, terkadang masih suka kelepasan. Reuben pun juga tidak bisa menahan mulutnya untuk berkomentar.
Kedua sikap ini seperti tidak sejalur. Malah berseberangan dan seringkali terjadi kecelakaan alias keributan.
"Lo pulang aja."
"Gak tau mesti ngomong apa, kan? Selalu gue salah dan lo dengan keras kepalanya beranggapan bahwa diri lo bener. Kalo lo emang gak nyaman ada gue, sekarang juga gue bisa menjauh."
Kepalan tangan Reuben begitu kuat. Dia bukan marah pada Ben, tapi dengan keadaan yang selalu saja bisa menyudutkan mereka. Juga dengan dirinya yang selalu saja menolak kebaikan yang diberikan Ben.
"Gue cuma belum biasa dengan kita yang sekarang. Lo gak merasa asing, hah? Sebisa mungkin gue harus bisa membalas kebaikan lo padahal biasanya kita selalu berantem."
"Bener, kan? Lo pengen kita selalu ribut."
"Bukan gitu! Gue masih belum biasa, oke? Butuh waktu buat nerima situasi ini."
Ben menggaruk belakang kepalanya. "Kenapa dibawa ribet sih? Lo tinggal terima dengan gue yang sekarang, apa susahnya?"
Sesungguhnya Reuben takut bahwa perasaan asing yang berangsur nyata di dalam dirinya semakin membuncah. Dia tidak ingin terjadi, tapi dia juga tidak ingin Ben menjauh.
Ya, perubahan yang terjadi pada diri Ben malah mengubah rasa benci Reuben padanya jadi berbuah manis yang tidak ingin dicicipinya.
"Maka dari itu gue bilang butuh waktu. Lo ngerti gak, sih? Gue masih perlu adaptasi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...