Janji [END]

29.6K 2.7K 583
                                    

Langit senja mengiringi perjalanan mereka yang selalu saja penuh argumentasi dari mulai berangkat hingga mulai memasuki kawasan Puncak.

Hawa dingin menerpa tubuh keduanya. Membuat jaket yang dikenakan mereka tidak begitu berpengaruh.

Motor terus menanjak melewati sederetan warung sederhana yang menjual cemilan dan berbagai macam kopi. Juga ada toko oleh-oleh sepanjang jalan dan masyarakat sekitar yang berlalu lalang.

Negeri kita yang begitu terkenal dengan keramahannya masih sangat terjaga sampai sekarang. Selalu ada senyum merekah dari balik bibir mereka ketika ada orang yang menyapa bahkan orang asing yang tanpa sengaja saling bersitatap.

"Udah lama banget gue gak kesini." Reuben merapatkan duduknya hingga dadanya menyentuh punggung Reuben.

Menyimpan kedua tangannya ke dalam saku parka Ben yang baru saja dipakainya. Hidungnya menciumi aroma tubuh pria yang mulai disayanginya ini.

"Terakhir kapan emangnya?" Tanya Ben.

"Lupa, yang pasti sewaktu Bokap masih ada. Kita bertiga kesini dan makan sate kambing."

"Sekarang sama gue."

"Ya, sama lo." Ada senyuman tipis dari bibir Reuben ketika mendengarnya. "Jadi lo ngasih jaket ini ke gue karena lo beli jaket baru?"

"Emang gue pengen ngasih, buruk sangka mulu lo."

Reuben tertawa. "Makasih loh jaket bekasnya, gue terima dengan senang hati."

Motor memasuki jalan kecil yang sedikit menanjak menuju bukit. Masih beralas tanah merah dengan hamparan rumput dan pohon yang tumbuh tidak beraturan.

Lalu berhenti di satu villa dua lantai dengan halaman yang begitu luas. Ada kolam ikan dengan air mancur mini buatan yang menimbulkan gemericik menenangkan.

Ben mengajak Reuben turun dan masuk melewati gerbang berukir ala Eropa. Suara pagar yang berdecit membuat penjaga rumah keluar dengan terburu-buru.

"Loh, Den Benji. Gak bilang mau kesini." Slamet, orang yang mengurus villa milik keluarga Ben.

Tepatnya villa ini dibeli Ayahnya sewaktu Ben masih kecil. Sengaja untuk mengusir rasa bosan dengan suasana kota dan jika membutuhkan tempat yang nyaman untuk bersantai.

"Mendadak juga, Pak." Sapanya sembari menepuk bahu. "Ini namanya Pak Slamet, gak pernah sakit dia, sehat terus."

"Ya iya, Slamet terus hidupnya ya, Pak?" Kekeh Reuben menambahi.

Slamet hanya menunjukan cengirannya dan mempersilakan masuk. Bersamaan dengan rintik hujan yang perlahan turun dari langit.

"Mungkin dia sodara kembarnya si Mat tukang soto di kantin." Celetuk Reuben.

"Emang iya, satu ibu beda sendal."

Slamet menoleh dengan wajah bingung ketika dua orang yang dilihatnya itu tertawa terbahak. Dia hanya merasa heran sekaligus takut, bisa jadi setan villa sudah memasuki tubuh mereka.

Mandadak aroma petrichor yang segar terhirup dengan lembut. Suasana yang magis muncul ketika bumi basah oleh air dari awan gelap dan memunculkan wangi sedap yang memanjakan.

"Saya bikinin teh anget ya." Slamet beralih ke dapur dan membuatkan minuman.

"Sekalian uli bakar sama satenya, Pak." Minta Ben yang diacungi jempol oleh Slamet.

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang