Pamit

16.3K 2.1K 164
                                    

"Gak bisa! Gak bisa kaya gini, kenapa nilai-nilai lo jadi lebih tinggi dari gue?" Ben memegang rapot dan melihat hasilnya di semester satu ini.

"Mana gue tau, tanya Pak Anto sana." Reuben hanya cengengesan karena dia pun tidak menyangka bisa mengalahkan Ben yang memang terkenal cerdas.

Mereka sudah mengikuti Ujian Semester dan menerima rapotnya sekarang. Tidak semua murid datang untuk melihat langsung nilai mereka, hanya ada beberapa saja.

Reuben sengaja datang sekaligus untuk pamit kepada Anto dan Ben ikut menemani.

Kebanyakan murid menyerahkannya kepada orang tua yang memang diharuskan mengambilnya. Untuk pertama kalinya juga Demas hadir, bersamaan dengan Sonya untuk mengambil rapot anak mereka masing-masing.

"Selama ini kamu rangking satu, tapi kenapa giliran Ayah yang ngambil nilainya malah turun?" Sebenarnya Demas tidak marah karena hal itu, walaupun nilai Ben turun tetapi dia tetap masuk dalam sepuluh besar.

"Emang harusnya Ayah gak ditakdirin dateng." Sindir Ben dan hanya dibalas tepukan di kepala oleh Demas.

"Kalian mau ikut kita makan siang apa nggak?" Sonya menawarkan.

Reuben melirik ke Ben, sesungguhnya mereka sudah punya rencana sendiri. Janji yang waktu itu dibuat ingin dipenuhi sekarang.

Menghabiskan waktu seharian bersama. Ya sebenarnya mereka merencakannya saat liburan nanti sebelum Reuben berangkat ke Singapura, tapi Ben ingin lebih cepat. Dia juga meminta untuk tidak perlu ganti baju, biarkan memakai seragam.

"Kenapa sih? Gerah kalo gak ganti baju." Reuben merasa heran saat mereka sedang menuju sekolah dan Ben meminta untuk tidak perlu ganti pakaian saat mereka jalan nanti.

"Lama lagi, pulang dulu, mandi dulu. Buang-buang waktu yang ada. Mending langsung cabut." Mereka berbincang diiringi deru kendaraan yang saling bersautan.

Jadi mereka memisahkan diri dengan orang tua, membiarkan Sonya dan Demas berdua untuk mengenang masa SMA mereka.

Sementara Reuben masih ingin di sekolah untuk berbicara sebentar dengan Anto.

"Yakin gak mau ditemenin?" Ben bertanya lagi, karena Reuben ingin menemui Anto sendiri.

"Gak usah, orang mau bilang makasih doang."

"Yaudah, gue di kantin bareng Timur sama yang lain. Kalo udah selesai kesana aja."

Setelah semua orang tua murid sudah meninggalkan kelas dan menyisakan Anto di dalam, Reuben baru masuk.

Anto menoleh karena seseorang mengetuk pintu. "Tumben pake ketok pintu segala. Kenapa? Ada perlu sama Bapak?"

"Cuma mau pamit karena saya jadi berangkat ke Singapura."

Tidak tau kenapa Reuben masih saja gugup jika harus berbicara serius dengan wali kelasnya ini. Padahal dia sering cerita banyak, dimana tidak ada orang yang mengetahui.

Semua keluh kesah Reuben selama ini sudah sering masuk ke telinga Anto. Sakit yang dialami sampai kegalauan yang Ben perbuat padanya. Perubahan perasaan benci menjadi sesuatu yang tidak pernah dibayangkan.

Anto mengetahui dari A sampai Z tanpa ada yang terlewat.

"Saya senang dengarnya. Kamu mengambil keputusan yang besar dalam hidup, yang kamu pilih ini adalah yang terbaik, saya yakin itu."

"Awalnya saya masih ragu untuk pergi, masih ngerasa takut. Tapi Bapak pernah kasih tau saya kalo hidup harus berani mengambil resiko dan Mama juga bilang bahwa yang sakit bukan saya aja, tapi juga orang di sekitar."

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang