Keterdiaman Reuben masih terus berlanjut ketika mereka sudah sampai rumah. Walau di kelas tadi sedikit ada obrolan dan adegan pelukan—yang dikira Benji akan berujung baik—tetap saja ternyata tidak mengubah keadaan.
Pintu terbuka dan disambut dengan suara berisik serta aroma sedap dari area dapur. Sonya dan asisten rumah tangganya sibuk menyiapkan makanan.
"Banyak banget, siapa yang mau dateng sih?" Reuben meletakan tasnya sembarang.
Sonya membalikan badan, bertepuk tangan riang. "Pria yang spesial dong, ini pertama kalinya kamu ketemu, kan?"
Selama ini Reuben hanya sering mendengar cerita dari Sonya. Bahwa hubungan mereka sudah terjalin sekitar beberapa bulan. Alasan mereka jarang bertemu dan dirinya juga jarang melihat adalah kesibukan si pria.
Pria yang dekat dengan Sonya ini sering dinas di luar kota bahkan di luar negeri. Dia hanya sering menghubungi lewat ponsel jika ada kesempatan.
"Mama bisa ya hubungan jarak jauh gitu, gak pernah berantem lagi."
"Emang kita anak remaja yang sering ribut hal sepele? Di umur Mama ini, udah bukan masanya permasalahin yang gak penting."
Ben hanya memperhatikan obrolan mereka. Dia memikirkan bagaimana sikap Sonya menanggapi penyakit Reuben jika sedang tidak ada dirinya.
Karena selama ini Sonya tidak pernah membahas itu di depan Ben. Sebenarnya itu haknya, karena disini dia juga orang luar, bukan keluarga yang harus mendengar semua rincian kesehatan Reuben.
"Aji, Mama bikin ayam goreng sama perkedel. Nanti kita makan sama-sama ya."
Ben merasa agak tidak pantas untuk ikut serta di acara ini. Dia hanya teman Reuben yang memang kebetulan akrab dengan Sonya juga.
Rencana kedatangan seseorang yang berarti bagi Sonya ini pasti juga untuk mengakrabkan diri dengan Reuben. Dia tidak ada kepentingannya disini.
"Emang gapapa, Ma? Kayanya gak pas banget kalo saya ikut."
"Ih, gapapalah. Biar makin rame, makin asik." Sonya memberikan minuman dingin ke mereka. "Tunggu di atas ya, nanti kalo udah siap Mama panggil."
Reuben menerima kedua gelasnya, lalu memberikan satu ke Ben. Dia masih tidak berminat berbicara. Karena jika sudah mengobrol, pasti selalu membahas soal penyakitnya yang hanya membuat mereka berdebat tidak berkesudahan.
"Ayo naik, diem aja lo." Reuben menegurnya karena Ben sempat melamun.
Sudah cukup sering Ben masuk ke kamarnya, jadi tidak perlu adaptasi lagi. Kadang mereka juga bermain PS bersama, lalu bertengkar hanya karena kekalahan dalam permainan sepak bola.
"Ini pertama kalinya lo ketemu sama pacar Mama?" Tanya Ben.
Reuben sudah tidak berkomentar soal Ben yang memanggil Sonya 'Mama' karena hal tersebut tidak perlu juga diperdebatkan.
"Iya, selama ini Mama cuma curhat doang, nunjukin fotonya juga nggak."
"Terus deg-degan?" Ben membuka semua kancing seragamnya karena merasa gerah.
"Lumayan, karena gue berpikir mereka bakal lebih serius setelah ini."
Jendela balkon kamar dibuka Reuben agar ada angin yang berhembus masuk. Dia jarang menyalakan AC di siang hari, dinginnya malah membuat menggigil, beda dengan yang alami.
"Lo nggak setuju?"
Reuben menghela napasnya. "Bukan nggak setuju, kalo emang itu bener terjadi. Cuma ini bakal jadi pertama kalinya gue ketemu, gue gak tau gimana nanti first impression yang bakal muncul. Bisa aja gak seperti yang gue harepin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...