Ben masuk ke dalam kelas lima menit sebelum bel. Melenggang dengan langkah malas seolah tempat ini adalah penjara dan dia tahanan yang tidak bisa kabur.
Dia duduk dan langsung merebahkan kepalanya dalam lipatan tangan. Setiap pagi dia selalu seperti ini, bahkan ketika pelajaran sudah dimulai. Lucunya tidak ada guru yang membangunkan.
Karena apa? Ben selalu bisa menjawab soal di semua mata pelajaran, dia mengerti materi apa yang diajarkan walaupun dirinya sedang dalam dunia mimpi. Jadi guru tidak ada alasan untuk membangunkannya karena dia sudah memiliki bakat untuk jadi murid yang cerdas.
Goncangan dari kaki kursinya begitu terasa dan mengganggu tidur nyenyaknya. Dia berdecak dan menggebrak meja karena ada orang yang berani membangunkannya dengan sengaja.
"Berani ganggu-" kepalanya menoleh dan melihat pria sedang menunjukkan wajah tidak bersalahnya. "Kenapa lo di belakang gue?"
"Ini meja gue." Reuben menepuk meja dan kursi yang didudukinya.
"Lo harusnya di pojok sana. Pikun, hah?"
Reuben hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya. Mengabaikan pelototan Ben yang semestinya mampu membuatnya takut. Tapi dia bukanlah murid biasa yang mudah takluk hanya dengan tatapan.
Kaki jenjangnya kini bergerak naik ke atas dan meletakkannya di bahu Ben. Seakan memberikan kain merah pada banteng yang siap menyeruduk.
"Nyari mati lo, ya? Singkirin kaki lo dari bahu gue sekarang." Desisan Ben begitu mengancam. Tapi itu tidak terpengaruh sama sekali untuk si kepala batu.
Murid seisi kelas sudah melihat mereka. Menantikan apa yang akan terjadi, beberapa gemetar ketakutan, tapi ada yang juga antusias bagai nonton film action gratis.
"Gue pegel, butuh sandaran." Reuben menyandarkan punggungnya sembari melipat tangan di dada.
TSAP!
Ben menyingkarkan kaki itu dengan kasar. Dia sudah berdiri menjulang di hadapan Reuben. Menguarkan aura mencekam, tapi lagi-lagi itu tidak berpengaruh sama sekali bagi lawannya.
Sebelah tangannya sudah mengangkat kursi yang siap dilemparkan. "Lo pengen ini kursi melayang ke muka?"
"Coba aja, berani?"
Kursi itu siap melayang kalau seandainya tidak ada suara Anto yang menghentikan Ben. Tentu itu membuatnya muak, kenapa selalu ada yang mengganggu disaat kemarahannya sudah sampai ubun-ubun.
Ben meletakkan kursinya kembali dan duduk menghadap depan. Itu membuat Reuben yang duduk di belakangnya merasa terbalaskan akan dendamnya kemarin.
"Bukan cuma lo doang yang bisa mancing kemarahan, gue juga bisa." Bisik Reuben tepat di samping telinga Ben. "Dan kita sama-sama gak berkutik sama pawang di depan itu."
Kembali Ben menggebrak meja dan ingin meninju wajah Reuben yang selalu berhasil menaikkan darahnya.
TAK!
Suara penggaris yang berbenturan dengan papan tulis begitu nyaring. "Cukup! Capek saya liat kalian."
Semua terdiam, hening bagai di hutan. Tapi suasana ini tidak menyurutkan protes Ben yang harus diungkapkannya.
"Pak, kenapa nih anak jadi duduk di belakang saya? Dia mestinya di pojok."
"Saya yang nyuruh, dia gak keliatan kalo duduk disitu, matanya minus." Anto mulai mencatat di papan tulis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Fiksyen RemajaMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...