Jenguk

16.7K 2.6K 323
                                    

"Seharian kamu muntah dan ngeluh pusing. Masih keras kepala gak mau ke dokter?"

Sonya memperhatikan Reuben yang hari ini tidak masuk sekolah dan seharian tiduran di kamar. Tertutupi oleh selimut bermotif bendera Inggris yang menjadi negara favoritnya.

"Besok sembuh."

"Kemarin malem kamu juga ngomong gitu, sekarang apa buktinya?" Ada garis kekhawatiran dari raut wajah Sonya. "Lagian cuma check up, susah banget nurutnya sih."

Apa yang menjadi keraguan Reuben untuk pergi berobat adalah karena dia tidak ingin mendengar bahwa penyakitnya ini sudah semakin parah.

Karena dia tau, semakin lama dia semakin merasa bahwa tubuhnya tidak sekuat dulu. Dia tidak ingin mendengar penjelasan dokter yang akan menyakiti dirinya, menyakiti batinnya.

"Kalau kamu bersikap kaya gini, itu bikin Mama sedih. Seakan kamu nyerah dan gak ada niatan untuk berusaha sembuh."

"Emang gak mungkin sembuh, kan? Kemungkinannya kecil, Ma."

"Walaupun satu persen aja, itu masih ada harapan kalau kamu mau berjuang. Jangan pikirin diri kamu aja, pikirin orang lain di sekitar kamu. Apa yang mereka rasain kalau melihat kamu seperti ini?"

Reuben terkekeh mendengarnya. "Pikirin orang lain siapa? Selama ini cuma Mama yang ada, Reuben gak punya siapapun."

"Aji? Kemarin malam sebelum dia pamit pulang, dia minta Mama untuk kasih tau apa yang kamu derita."

"Dia emang cuma pengen tau urusan orang."

"Mama gak pernah tau kalo orang seperti Aji, bisa semenderita itu karena liat kamu sakit."

Ben yang pulang ketika Sonya datang dan Reuben terlelap, memancarkan ekspresi lelahnya. Bukan karena dia harus menjaganya, tapi karena harus menjadi saksi bagaimana Reuben menghadapi kesakitannya.

Muntah, mengeluh sebab kepala terasa pusing, wajah pucat, tubuh berkeringat. Ben harus melihat itu semua di depan matanya. Jika boleh, ingin rasanya dia memaki Reuben untuk menghentikan itu semua. Dia ingin berteriak di hadapannya untuk segera berhenti atas kekonyolan yang dia tunjukkan.

Tapi Ben tau, bahwa saat itu Reuben memang tidak berdaya. Dia pasrah dengan apa yang dialaminya.

"Coba untuk tidak egois, bukan hanya kamu yang merasa sakit. Tapi kita juga, Reuben."

"Mama gak kasih tau dia, kan?"

"Cuma kamu yang berhak kasih tau." Mama berbicara lagi sebelum memutuskan keluar kamar. "Kamu punya kita yang harus diperjuangkan, kamu gak hidup sendirian di dunia ini."

•-•

Ben memperhatikan meja kosong di belakangnya. Biasanya selalu ada pemiliknya yang kerap mengganggu tanpa henti.

Sudah tiga hari Reuben tidak hadir dengan alasan sakit. Sudah tiga hari pula dia di dalam kelas saja selama waktu istirahat.

Ada yang hilang di dalam dirinya, entah apa itu. Ben seperti merasa ada yang kurang. Tidak lengkap, ada celah yang begitu lebar di dalam hatinya.

"Gak makan kamu, Ben?" Anto meliriknya dari kacamata yang dipakainya.

"Gak laper."

Anto pun memperhatikan Ben dari kemarin. Dia merasa anak muridnya itu seperti kehilangan nyawa, tidak hidup. Pikirannya melayang jauh kemana-mana.

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang