Di sekolah yang biasanya pagi hari selalu terjadi keributan atau pertengkaran oleh dua anak berandal itu, terlihat lebih tenteram akhir-akhir ini. Begitu damai hingga murid-murid yang biasa menyaksikan mereka adu mulut begitu terheran-heran saat keduanya berjalan beriringan dengan tenang.
Ben yang biasanya memakai jaket hitam kumal kesayangannya itu, kini malah bersarang di tubuh Reuben.
Setiap murid yang ada di koridor atau melewati mereka begitu intens menatapnya sampai lupa menatap ke depan dan menabrak tiang.
"Reuben." Ben menegeur, namun yang dipanggil malah jalan mendahuluinya.
Dia masih diabaikan begitu saja. Sudah beberapa hari ini memang mereka tidak berinteraksi. Baru kali ini juga dia menjemput Reuben karena memang dirinya memaksa.
Warga sekolah juga masih bertanya-tanya dan masih digeluti rasa penasaran dalam benak selama beberapa hari ini. Mereka masih terus saja menatap curiga kepada dua pria itu.
"Lo pada gak ada yang bisa diliat selain kita? Dari kemarin ngeliatin kita terus, gue colok mata lo pada biar buta sekalian."
Mereka yang ditegur Ben langsung lari menghindari dirinya yang mungkin saja akan mengamuk.
Ben memasuki kelas dengan wajah yang menahan sabar. Dia masih harus berlatih dalam hal ini.
"Kita perlu ngomong, lo gak bisa ngehindarin gue gitu aja." Ben menarik headset Reuben yang sedang dipakainya.
Reuben hanya memperhatikan tanpa berbicara. Dia memasukan ponselnya ke dalam saku dan berniat pergi.
"Ini gak bakal selesai kalo lo diem aja." Ben selalu berusaha agar dia didengarkan.
Arah mata Reuben menatap ke sekitar. Ben yang mengerti ikut mengedarkan pandangan. Semua menatap mereka, termasuk Saras yang terlihat begitu berminat menontonnya.
Tangan yang sedang Ben tahan dihentakan Reuben dengan keras hingga terlapas. Dia berjalan pergi dan mungkin akan membolos pelajaran pertama.
Ben tau bahwa Reuben ingin sendiri dulu. Tapi sejak kemarin dia sudah memberikan banyak waktu, tidak bisakah kini giliran dia yang meminta?
"Mana Reuben?" Anto masuk ke kelas padahal ini bukan mata pelajarannya.
"Tadi keluar, Pak." Saut salah satu murid.
Anto melihat tas yang ada di kursi Reuben. Lalu mengalihkannya kepada seseorang yang ada di dekat mejanya.
"Ah, Ben. Ikut saya sebentar."
"Apalagi sih? Buat masalah juga nggak." Gumamnya kesal dan mengikuti Anto.
Di dalam ruang guru Anto duduk melihat Ben yang berdiri di hadapannya dengan malas. Baju keluar dan kusut, celana bolong pada bagian lutut lalu kembalinya plester yang telah lama tidak menempel di pipi.
Sudah bukan saatnya untuk mengomeli cara berpakaian Ben. Karena mau diberitau seribu sepulu kali pun tidak akan didengarnya.
"Saya yakin kamu sudah tau semua."
"Reuben cerita ke Bapak?" Kernyit Ben.
Anto mengangguk. "Soal dia akan berangkat ke Singapura, kamu sudah tau?"
"Dia gak mau berangkat, takut pengobatannya gagal." Saut Ben dengan wajah ditekuk.
Kembali Ben mengingat dia berdebat panjang hanya karena Reuben menolak pergi karena takut dan tidak mau meninggalkannnya. Alasan yang sebenarnya remeh dibanding dengan kesehatannya yang begitu penting.
"Kalau dia berangkat, tidak akan ada kesempatan buat ikut Ujian Nasional. Mamanya bilang ke saya, paling sebentar satu tahun."
Ben baru mengetahui fakta ini. Dia memang tau bahwa pengobatan di Singapura tidak sebentar. Tapi tidak pernah menyangka akan selama itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...