"Nih gue kasih lima tusuk." Reuben memberikan sebagian porsi sate yang dibelinya. "Nasi gorengnya jangan, ribet."
Ben hanya melongo sembari menerima dengan pasrah. Pasalnya dia yang bayar semua makanan ini, karena Reuben mengaku uangnya sudah habis buat membayar bakso malang tadi.
Sebenarnya Ben pun juga tidak terlalu lapar dan tidak terlalu ingin. Cuma kalau dia yang membayar, seharusnya dia mendapatkan jatah yang lebih banyak.
"Anggap aja gantian, tadi gue yang neraktir. Sekarang giliran lo." Reuben memakai sepatunya, Gojek yang dipesannya sudah menunggu di depan gerbang.
"Ini sama aja kita beli makanan sendiri-sendiri, malah gue nombok. Harga nasi goreng kambing sama sate lebih mahal dibanding dua mangkok bakso malang."
Reuben hanya menunjukan cengiran tidak bersalah. Dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun.
"Heh! Lo bilang duit lo abis?! Kenapa bisa mesen Gojek?"
"Ada yang namanya Go-pay, norak!" Teriaknya sembari tertawa karena melihat mimik wajah Ben yang malu.
Ini suatu keajaiban bagi mereka karena melewati hari tanpa bertengkar. Meskipun Ben menyimpan kekesalan karena Reuben mengasihani dan membuatnya membayar makanan yang bahkan tidak dia pesan.
Di meja makan, Ben melihati sate yang sudah diletakan di piring. Mengambil satu tusuk dan memperhartikan dengan pikiran yang melayang ke pria itu.
Senyuman singkat tertarik dari sudut bibirnya. Namun setelahnya kembali datar karena menyadari dia bisa tersenyum hanya karena manusia langka dan menyebalkan tersebut.
"Tai tuh orang." Gumamnya lalu kembali ke dalam kamar.
Membiarkan sate itu dingin hingga esok pagi. Dengan bumbunya yang sudah mengering dan tidak layak untuk dimakan.
•-•
Pagi membentang begitu cerahnya, mengganti malam gelap yang terasa cepat berakhir. Suasana pagi di sekolah selalu menjadi kerinduan tersendiri bagi kita yang sudah meninggalkannya dan memulai hidup yang sebenarnya.
Semilir angin seolah mengantarkan langkah kaki kita yang begitu berat karena kantuk masih tersisa di pelupuk mata. Sapaan dari teman ketika memasuki area sekolah, teguran para guru agar berjalan lebih cepat karena bel akan segera berbunyi, serta wajah satpam yang jarang tersenyum namun sesungguhnya ramah sekali—apalagi jika kita sering memberi uang jajan untuk rokok mereka.
Ben yang sejak sepuluh menit lalu sampai, menumpukan kedua kakinya di atas meja. Berlipat tangan memperhatikan seisi kelas.
Masa skors selama tiga hari terasa begitu cepat berlalu. Ayahnya tidak begitu peduli ketika dia memberi tau lewat telepon bahwa dirinya kena skorsing.
Beliau hanya berkata. "Guru kamu tau apa yang pantas atas perbuatan muridnya."
Suara decitan pintu membuatnya menoleh, menampilkan sosok Reuben yang kini mengenakan jaket denim dengan lubang di bagian siku dan bahu.
Tidak ada gangguan seperti biasa, tidak ada ocehan yang biasanya selalu membuat Ben murka. Reuben agak pendiam kali ini, tanpa membuat ulah.
"Sakit lo?" Ben tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya, walaupun dia masih memandang lurus tanpa menoleh.
Sesungguhnya Reuben memikirkan sikapnya yang agak kurang berkenan tempo hari. Dia membuat Ben kesal dengan membayar pesanan makanannya untuk menutupi rasa canggung dalam batinnya.
Kecanggungan itu melanda karena Ben tau apa tujuan dan maksud Reuben yang selalu ada di sampingnya. Maksud hati ingin berbuat baik tapi hal tersebut malah bersambut buruk untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...