"Cuma lo yang ngajak jalan orang sakit tengah malem begini."
Reuben tidak habis pikir, bagaimana bisa ada orang yang berkunjung di jam segini tanpa lewat pintu melainkan naik ke balkon dan tanpa membawa buah-buahan yang biasa dibawa untuk orang sakit, lalu malah mengajaknya jalan entah kemana.
Dia menggeleng menanggapinya dan memilih untuk kembali ke kasur. Terserah apa yang ingin dilakukan Ben.
"Lo pasti bosen di kamar doang, jadi mending ikut gue. Cari angin kek, makan kek."
"Cari angin? Yang ada makin ambruk badan gue. Lagi angin ngapain dicari-cari, udah aja tuh duduk deket kipas."
"Gue tau lo mau keluar cuma gengsi, kan?" Ben menaik turunkan alisnya.
"Dih! Udah sana pulang deh, mau tidur gue."
Tanpa seijinannya, Ben main melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam kamar. Memperhatikan acara televisi yang ditonton Reuben.
Apa pula yang dilihatnya? Sinetron Turki yang bahkan suara dubbing tidak sesuai dengan wajah. Masa karakter dengan muka imut begitu suaranya terdengar berat.
Ben melihat ke arah lemari yang terdapat jaket miliknya tergantung rapi. Dia mengambilnya lalu melemparkannya.
"Pake nih, kita cabut."
Reuben menggeram, lalu melempar balik. "Itu, kan jaket lo. Ambil deh, lupa gue balikin."
"Ih, kok wangi nih? Lo cuci?" Ben sumringah karena mencium jaket kesayangannya yang bau itu menjadi wangi.
"Gue laundry, bahkan yang cucinya sampe ngeluh ke gue. Gak kuat nyium baunya."
Dengan paksaan, Ben menarik lengan Reuben agar beranjak dari tidurnya. Memakaikannya jaket lalu meresletingnya hingga leher.
Merapikan rambutnya dengan jari-jarinya yang terampil. Menepuk keras kedua pipinya agar tersadar, karena Reuben terlihat sayu sekali dengan mata yang mengantuk.
"Duh! Rusuh banget sih lo, lagian mau kemana jam segini?!" Reuben sudah merengut kesal.
"Gak tau, ikut ajalah udah. Kita pikirin di jalan mau kemana, gampang." Ben menarik Reuben menuju jendela dan menyuruhnya turun terlebih dahulu.
"Heh? Lo nyuruh gue turun dari pohon? Ngapain? Udah aja lewat pintu, ribet banget."
Reuben ingin melangkah keluar kamar tapi ditahan. "Jangan, nanti berisik, kasian Mama kalo bangun."
"Mama, mama aja lo. Nyokap gue itu!" Reuben menggeplak kepala Ben tanpa balasan.
Dia sempat mengernyit karena akhir-akhir ini Ben tidak pernah lagi marah apalagi membalas perbuatannya. Lalu mulai berani bertindak aneh dengan mengusap-ngusapnya atau menyentuh wajahnya.
Karena sudah malas membantah lagi, Reuben menurut saja. Dia turun dengan agak susah dari pohon. Memang dirinya kurang ahli dalam hal seperti ini.
Kemudian disusul Ben dan menyuruhnya untuk melompati pagar. Reuben mendengus, ini rumahnya, kenapa dia jadi seperti maling yang ingin kabur?
"Gue ambil kuncinya dulu deh, berasa tahanan yang lagi mau kabur dari penjara."
Kembali Ben menahannya. "Gak usah, naik ke bahu gue aja nih."
Haruskah dia memilih cara yang repot sementara ada jalan mudah di depan mata?
Reuben jadi gemas sendiri. "Ergh! Kalo bukan karena gue mikirin lo yang udah capek kesini tengah malem, ogah disuruh-suruh begini."
Ben menyengir sembari memegang kaki Reuben di bahunya. "Jadi mikirin gue?"
"Cerewet! Pegang yang bener!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...