"Ini sudah kelewat batas. Kelas berapa kalian?" Anto menggiring kedua anak muridnya ini ke belakang sekolah. Dimana hanya ditumbuhi rumputan liar dan pagar pembatas yang sering menjadi tempat para murid cabut.
Mereka terdiam, hanya menunduk sembari memainkan batu kerikil dengan kaki. Sesungguhnya Anto justru lebih disegani dibanding dengan kepala sekolah.
Karismanya yang kuat sebagai seorang guru mengalahkan sang petinggi di sekolah ini yang hanya tinggal duduk manis dan memerintah.
"Budek? Saya tanya kelas berapa kalian?!" Anto menekankan pertanyaannya.
"Dua belas." Jawab mereka bersamaan.
"Bahkan anak kecil aja bisa lebih waras dibanding kalian berdua. Mereka bisa lebih dewasa tanpa harus adu pukul kalo berantem sama temennya."
Ben terkekeh. "Anak jaman sekarang jarang berantem. Lebih sering ngelem sama main sosmed. Paling parah malah main di kamar."
"Berani bantah saya sekarang?"
Reuben menyenggol lengan Ben, bermaksud untuk menyuruhnya diam. Karena bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Lagipula Anto bukan orang yang pas untuk diajak melucu, yang ada malah bikin suasana suram.
"Kasih kita hukuman aja. Kita udah biasa denger ceramahan Bapak, gak ngaruh." Lagi-lagi Ben menyaut sesukanya.
Di sampingnya, Reuben sudah menggelengkan kepala. Dia angkat tangan kalau disuruh melawan perkataan Anto. Dirinya masih tau batasan.
"Lo bisa diem, kan? Mulut lo banyak bacot." Reuben mendesis.
Anto bertolak pinggang sembari melihat keduanya satu per satu. Dia harus mengambil keputusan yang lebih dari biasanya.
"Bersihin halaman belakang ini dan kalau udah selesai, datang ke ruangan guru." Anto pergi meninggalkan mereka.
"Liat? Dia gak bakal berani macem-macem. Cabut rumput sama bersihin toilet sih masih biasa." Ben berlagak sembari mulai berkerja membersihkan halaman.
"Kenapa lo selalu cari sensasi sih? Kebanyakan tingkah, lo gak sadar orang-orang sekitar pada gak nyaman dengan kelakuan lo itu?" Reuben mengikuti mencabuti rumput.
Cuaca terik matahari membuat hukuman mereka terasa lebih berat. Ben melepas jaket buluknya lalu membuka semua kancing seragamnya.
Reuben memperhatikan jaket hitam Ben yang sudah pudar. Antara sering dipakai dan tidak pernah dicuci atau malah kebanyakan dicuci. Tidak mungkin yang kedua, karena bau menyengat dari bajunya sangat menusuk.
"Lo gak ada duit beli jaket baru?"
"Banyak nanya ya lo, tinggal kerja aja apa susahnya sih. Biar cepet selesai."
Desahan dari mulut Reuben membuat Ben menghentikan pekerjaannya sejenak. Dilihatnya musuhnya itu sedang duduk, membiarkan celananya kotor dengan tanah.
Ben sepertinya juga butuh itu, dia ikut duduk dan meregangkan tangannya. Pelipisnya mulai berkeringat padahal baru sebentar menjalani hukumannya.
"Ketawan kita anak manja yang gak pernah kerja. Baru sebentar udah capek." Celetuk Reuben.
"Dih, gue sih biasa aja." Ben terkekeh meledek. "Lo kali yang manja, tiap hari dianter jemput udah kaya Syahrini."
"Ya, ya terserah lo."
Perhatian Ben teralihkan pada plester yang masih menempel di kening Reuben. Sudah agak kotor dan kurang merekat.
Tidak tau kenapa Reuben masih memakainya. Entah dia lupa atau kelewat nyaman ada benda itu di sekitar wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...