Ada sebagian dari diri Ben yang runtuh ketika mendengarnya. Dia bagaikan terombang ambing di ruang hampa tanpa bisa mengendalikan dirinya. Telinganya jelas mendengar perkataan Reuben tadi, dia merasakan hatinya bagaikan diremuk begitu pelan.
Matanya mengerjap seolah meminta kesadarannya kembali. Serasa dia habis melayang jauh dan memaksa dirinya untuk menginjak bumi lagi.
"Lo gak lagi becanda, kan? Gak lagi nipu gue? Kenapa tiba-tiba lo ngasih tau?"
"Karena lo pengen tau, ya gue kasih tau."
"Lo ngomong gitu seakan itu cuma sakit pilek biasa ya?" Ben berdiri dari duduknya, bertolak pinggang di hadapannya.
Reuben menarik sudut bibirnya. "Terus gue mesti gimana? Mewek menye-menye gitu?"
"Nggak, lo kaya- kenapa sih sama lo, hah?! Kaya gak ada beban ngomong gitu."
"Lo pikir gue gak ngerasa berat ngasih taunya? Gue mesti mikir berkali-kali soal ngasih tau penyakit gue ke lo. Karena ini gak sepantasnya disebarluasin, masa gue harus bilang ke orang-orang kalo gue penyakitan?"
"Tapi lo bisa segampang itu ngasih tau Anto, kenapa sama gue mesti lama?"
"Dia udah gue anggap kaya Bokap sendiri, ngerti? Dia ngebantu gue supaya bisa masuk ke sekolah ini karena gue gak diterima dimana pun dengan alasan kelakuan gue di sekolah yang lama."
Mungkin ini saat yang tepat bagi Reuben untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada masa lalunya. Bagaimana dia bisa pindah sekolah padahal sudah kelas 12. Kenapa dia memiliki catatan yang buruk di sekolah lama dan bagaimana awal mula penyakit itu muncul.
Reuben memang merasa lelah menyimpan semuanya dengan rapat disaat ada orang yang menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan kehidupannya.
"Sampe sekarang lo masih simpen banyak rahasia dari gue? Sementara lo tau semua tentang gue, tentang apa yang terjadi sama keluarga gue. Bisa lo seegois itu?"
Reuben ikut berdiri berhadapan dengan Ben walaupun saat ini tidak ingin menatapnya langsung. Dia merasa bersalah karena tau semua tentang ketidakakuran Demas dan Ben. Selagi dia menyimpan rapat tentang dirinya.
"Gue dikeluarin dari sekolah lama karena ribut sama beberapa temen, mereka ngeroyok gue sampe akhirnya kepala ini nabrak ke salah satu dinding." Sambil menunjuk kepalanya sendiri.
"Satu dari mereka koma gara-gara gue ngehajar pake balok kayu. Kita berdua dikeluarin, karena kejadiannya masih di sekitar area sekolah."
Reuben melepas kaos yang dipakainya lalu berbalik badan. Ada bekas goresan yang menjulur cukup panjang seperti ditikam dengan benda tajam.
"Orang yang koma itu udah bangun dan hidup nyaman di sekolah barunya. Sementara gue harus menderita karena penyakit ini."
Suara Reuben terdengar parau ketika dia menjelaskan semuanya. Semakin lama semakin serak sampai matanya memerah.
Dia menelan ludah beberapa kali mencoba untuk melancarkan bicaranya. Bahunya bahkan sampai gemetar seperti ketakutan untuk menceritakan masa lalunya yang kelam.
"Gue gak mau pergi jauh dari sini, Ben." Kepalanya menunduk, menempelkannya pada dada bidang Ben. Menyandarkannya disana seakan dia butuh tempat mengadu.
"Tapi gue harus, gak ada cara lain." Lanjutnya.
Ben masih mencerna apa yang didengarnya barusan. Kerja otaknya mendadak lemah karena harus menyaring tiap kata yang dilontarkan Reuben.
Ada yang sakit di dalam dirinya. Bahkan dia cukup sulit untuk sekedar memeluk Reuben yang sedang terguncang.
"Maaf karena- maaf karena gue selalu maksa lo untuk kasih tau apa yang lo alamin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Teen FictionMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...