Alasan

19.3K 2.6K 165
                                    

Ben ingin sekali menghajarnya, memukulinya hingga dia tidak bisa bergerak. Bahkan kalau perlu sampai salah satu kaki atau tangannya patah sekalian. Dia ingin menginjak-injak tubuh Reuben biar tau rasanya sakit fisik yang lebih dari sekedar timpukan bola.

Namun selalu ada keraguan yang menghadang, sesuatu yang menahan lonjakan amarahnya. Dia tidak pernah sekali pun merasakan ini dan Ben tidak menyukainya. Dia kesal, muak, marah terhadap dirinya sendiri.

BRAK!

Pintu penghubung menuju atap sekolah ditendangnya sampai engselnya terkoyak. Biarlah, penghuni sekolah jarang ada yang kesini jadi tidak akan ada yang mengetahui.

Semilir angin sejuk menerpanya dengan lembut. Sedikit melunturkan emosinya yang memang mudah naik turun.

"Santai kali, Bang. Kasar amat buka pintunya." Seseorang yang memang dari tadi disini mengomentari kelakuan Ben.

Timur bolos mata pelajaran pertama karena dia sedang tidak minat untuk belajar. Selain Ben, memang pria ini juga sering kesini kalau lagi bosan atau bingung mau kemana.

"Gue lupa kalo lo suka kesini juga." Ben merebahkan diri di samping Timur.

"Berantem lagi? Kaya suami istri yang lagi dilanda cobaan ya, ribut mulu." Timur selalu bisa menebak apa yang terjadi pada temannya.

Malah terkadang Timur lebih mengetahui apa yang Ben rasakan dibanding Ben sendiri. Salah satu bakat yang cukup berbahaya. Karena orang seperti ini akan selalu bisa menebak apa rahasia orang, tidak ada yang bisa ditutupi.

"Gue cuma berusaha baik, nanya gimana keadaan dia. Emang salah apa, Tim?"

Timur mengusap dagunya. "Nggak sih, mungkin waktu dan suasananya yang kurang tepat." Dia menoleh ke Ben. "Udah minta maaf belum lo?"

Ben hanya diam dan Timur tau bahwa pria ini belum mengucapkan kata penting itu. Siapa pun yang salah harus minta maaf, itu sudah peraturannya.

Jika orang yang masih memiliki akal sehat akan langsung minta maaf ketika dia berbuat salah. Tapi ini Ben, dia memang waras tapi untuk sopan santun, adat istiadat atau apapun itu namanya sangat kurang.

"Gue akuin kayanya emang si Reuben itu gak jauh beda sama lo. Selama ini cuma dia yang berani ngelawan, malah kadang ngajak ribut duluan." Ben setuju dengan ucapan Timur. "Tapi dia juga manusia yang punya hati kali, Ben. Lo salah dan lo gak minta maaf, menurut gue sih masuk akal kalo dia masih kesel."

"Selama ini gue bikin masalah sama orang lain, gue gak perlu minta maaf dan mereka fine aja sama gue. Emang si monyet itu aja ngajak adu bacot mulu."

Ada napas lelah yang keluar dari Timur karena temannya yang satu ini masih belum sadar juga. Selama ini Ben selalu melihat dari kulit luar dan menggampangkan semua masalah.

"Mereka emang keliatan baik-baik aja dari luar. Itu karena mereka takut sama lo, mereka nurut sama perintah lo karena mereka gak berani."

"Buat apa gue ditakutin? Emang gue setan? Atau macan yang bakal gigit?"

"Gigit sih nggak, tapi nampol iya." Gumam Timur. "Coba lo tanya serius sama mereka. Apa mereka ngerasa tersiksa sama kelakuan lo? Pasti mereka jawab iya dan pengen jauh-jauh dari lo."

Semua anak yang jadi korban Ben adalah mereka yang berkelakuan buruk, sok jagoan, sering menindas perempuan dan murid lemah lainnya. Itu membuat dirinya dongkol karena mereka yang merasa kuat jadi bertindak seenaknya.

Jika dipikir itu sama dengan Ben. Semua orang berpikir karena dia anak dari orang penting makanya bisa berbuat sesukanya. Tapi itu salah, karena dia pernah bilang bahwa orang tuanya tidak pernah membantunya dari hukuman para guru. Ayah Ben menyerahkan semua pada pihak sekolah.

Kelakukan buruk Ben muncul memang karena orang di sekitarnya membuat dirinya jengkel dan ingin membenturkan kepala mereka agar tersadar bahwa kekuasaan dan kekuatan bukan segalanya disini.

"Gue ngehajar mereka karena pantes buat diperlakukan kaya gitu. Kalo mereka diem dan gak banyak tingkah, gue juga bakalan santai."

"Kadang cara yang lo pake itu salah, Ben. Sedikit dirubah gak ada salahnya, walaupun lo gak suka. Tapi kalo lo bisa nurunin kadar amarah lo, pasti gak akan ada masalah."

•-•

Dengan rokok yang terjepit di sudut bibirnya, Ben melenggang di koridor menuju kelas. Asap tebal menggerayangi sekitaran wajahnya, beberapa murid yang berpapasan menutup hidung dan mengibaskan tangan mereka.

Kebetulan ini jam istirahat, jadi warga sekolah memang sedang ramai di luar. Sikap seperti ini termasuk biasa, khususnya yang sudah mengetahui atau mengenal Ben. Mereka tidak mengeluh, karena sudah cukup lelah untuk protes. Toh, mau dilawan juga mereka tau batasan, pasti akan kalah juga.

Tapi seseorang yang memang mempunyai keberanian melebihi murid biasa, berani menentang dan mengganggu.

"Gila, ini sekolah punya nenek moyang lo sampe bisa seenak jidat ngerokok di koridor?" Reuben yang kebeteluan ingin ke kantin melewati jalan yang sama dengan Ben.

Mereka saling bersitatap, berhadapan dengan pandangan kebencian. Ben tau jika dia bertemu Reuben tidak akan ada kata manis atau sopan yang keluar. Karena itu percuma, pertengkaran sudah menjadi nama tengah mereka berdua.

"Kenapa? Gak suka? Gak usah nongolin diri di depan muka gue, susah amat." Ben mengepulkan asap rokoknya ke arah Reuben.

"Sebandel-bandelnya gue sih masih tau diri, masih tau tempat. Mungkin lo gak diajarin tata krama sama orang tua."

"Iya emang, dia sibuk sama urusan sendiri. Jadi gue gak ngerti apa yang namanya berbaik hati sama orang lain, gimana harus bersikap dan tata krama kaya yang lo bilang, ngerti?" Ucap Ben penuh penekanan.

Reuben langsung paham, semua tindak tanduk seseorang selalu ada alasan di belakangnya. Seperti dirinya yang menjadi anak nakal di sekolah, karena dia selalu benci melihat murid yang bertindak sok segalanya.

Kembali sifat itu mirip dengan Ben, tidak suka dengan orang yang menindas orang lain. Keduanya akan menghajar orang itu sampai mereka menyerah dan takut terhadap dirinya.

Tetapi dibalik kekesalan Ben dengan murid penindas adalah sebuah perhatian dari orang tuanya yang tidak pernah dia rasakan.

"Lucu sih, dengan bangganya lo ngomong kaya gitu seakan emang orang tua gak ada pengaruhnya. Gue gak tau emang orang tua lo yang gak pernah didik atau emang lo yang gak ada yang otaknya."

Ben sudah cukup adu debat dengan Reuben dari awal mereka kenal. Dia sudah lelah menunggu, kesabarannya habis menghadapi manusia satu ini.

Rokoknya yang hanya tersisa sedikit itu dibuangnya ke lantai. Tanpa aba-aba kepalan tangannya melayang tepat ke wajah Reuben.

BUK!

Keras, sampai Reuben mundur beberapa langkah. Sepercik darah keluar dari sudut bibir hanya dengan satu pukulan telak.

"Lo yang mulai, lo yang mulai mukul gue."

BUK!

Tanpa ragu pun Reuben menedang perut Ben hingga dia tersungkur. Dengan cepat pula dia menahannya untuk berdiri dan ingin meninju wajahnya.

Namun tangan orang lain menghadang. Reuben kenal dengan urat-urat tangan ini.

"Kalian berdua, ikut saya." Anto berkata dengan suara rendah dan seraknya.

•-•

Capek gak liat mereka berdebat dan berantem mulu? Soalnya masih panjang perjalanan mereka, masih penuh adu bacot 😂😜

Ada yang udah nonton The Greates Showman? Gue nonton itu sampe dua kali, jatuh cinta banget sama tuh film 😢😭 cuma cerita aja sih ini. Sampe sekarang lagu-lagunya masih stuck di kepala gue

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang