Sekarang disinilah mereka, makan bakso malang gerobakan yang memang letaknya tepat di belakang sekolah. Selain itu banyak juga jenis makanan lain, jadi bagi para murid yang malas pulang sering kesini untuk nongkrong.
Mereka makan dalam suasana yang cukup canggung. Tidak ada obrolan dan hanya sibuk dengan makanan masing-masing.
Ini pertama kalinya bagi mereka menghabiskan waktu tanpa bertengkar dan bersama bukan karena hukuman.
"Tujuan lo ngajak gue makan disini apa?" Ben membuka suaranya setelah dia menghabiskan baksonya.
Tangannya mengambil sebatang rokok dari saku seragam. Memang murid sekolah yang punya kebiasaan merokok biasanya hanya membawa beberapa batang saja. Kadang di selipan tas, dimasukkan ke dalam kaos kaki atau secara terang-terangan seperti Ben yang dengan santai diletakan dalam saku.
"Gue laper." Reuben masih menikmati kuah yang tersisa. Menyeruput dari mangkuknya langsung.
"Tapi gue nggak."
"Tapi abis ya." Jelasnya sarkas.
Biasanya memang orang yang lebih cepat habis makanannya adalah orang yang lapar. Berhubung Ben mempunyai ego yang tinggi dia tidak mau mengakui bahwa dia memang kelaparan, sangat kelaparan.
"Berapa, bang?" Ben berdiri dan mengambil dompetnya.
"Eh, eh. Gue aja, kan gue yang ajak lo." Reuben mencegah dan memberikan uangnya ke penjual.
Tentu saja Ben memandangnya curiga. Karena tumben pria di sebelahnya ini berbuat baik dan sampai sekarang belum memancing kemarahannya. Biasanya mulut itu selalu berkoar mengomentari dirinya.
Lalu Reuben mengambil ponsel dan menelpon seseorang di seberang sana.
"Pak Sadi gak usah jemput, saya bareng temen." Hanya seperti itu dan Reuben menutup sambungan.
Ben menunjukan wajah gusar, karena sepertinya dia tau bahwa Reuben akan merepotkannya. Kadang firasatnya selalu benar, minim kesalahan.
Dan benar saja, Reuben menyengir ke arahnya. "Gue mampir rumah lo ya, kayanya gue butuh bantuan pelajaran kimia."
"Gue gak pinter kimia, lagian jangan sok akrab." Ben melenggang duluan meninggalkan.
Segera Reuben menyusulnya, mengintili dari belakang. Memang ini terlihat aneh karena dia biasanya akan nyinyir soal tingkah laku Ben.
Tapi kali ini dia seperti anak ayam yang mengikuti induknya kemana pun. Mereka kembali masuk ke area sekolah, lebih tepatnya ke tempat parkir.
Sahabat Ben, Timur kebetulan sedang memanaskan motornya untuk bersiap pulang. Dia melihat Reuben yang dengan santainya mengekori si berandal sekolah.
Pemadangan yang mengejutkan, bukan hanya untuknya saja tapi namun untuk seluruh penghuni sekolah. Karena kabar permusuhan abadi mereka sudah bagaikan virus yang menyebar begitu cepat.
"Monyet! Ngapain sih lo? Pulang sana, anak gadis pasti gak boleh pulang malem." Ben sengaja menyindir untuk menyinggung.
"Nyokap gue gak seprotek itu." Ucapnya datar.
Ben memutar bola matanya. Pancingannya tidak berpengaruh. Dia bermaksud untuk bertengkar dengannya dan dengan begitu Reuben akan kesal dan pulang. Tapi kenyataannya dia menanggapi tanpa merasa sakit hati.
"Jadi lo teraktir gue buat minta ajarin kimia?" Ben sudah duduk di atas motornya. Reuben ingin ikut naik namun ditahan.
"Gue liat nilai ulangan harian lo, beda jauh sama gue." Reuben menyingkirkan lengan Ben yang menghalangi dan langsung naik di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawala [1]
Roman pour AdolescentsMereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan serta kebebasan dalam mengekspresikan diri. Berlari belum tentu arah, karena tujuan hidup masih dalam bayang samar. Namun sepercik gelombang...