Bimbang

21.8K 2.8K 394
                                    

Ben masih tidak habis pikir dengan apa yang dilakukannya tadi. Untuk apa dia bertingkah sok baik, sok romantis begitu? Memangnya dengan begitu Reuben akan melupakan kesalahannya?

Eh, tunggu. Romantis? Kenapa pula Ben bisa berpikiran ke arah sana? Ini tidak masuk akal.

Berjalan dengan kedua tangannya yang diletakan dalam saku. Pikiran Ben berkecamuk dengan kelakuannya barusan.

"Jadi tuh cowok yang udah ngalihin semua perhatian lo?" Timur berlipat tangan sambil terkekeh melihat Ben yang bisa-bisanya bertingkah menggelikan menurutnya.

"Bisa ya, seorang Benji yang sangar. Berbaik hati ngasih plester kesayangan ke orang lain. Agak jijik sih gue kalo lo yang begitu." Lajut Timur sembari memperhatikan temannya.

Ben menarik napas dalam, berusaha membuang jauh-jauh pikirannya yang sedang kacau balau.

"Dia selalu nyari masalah sama gue, gimana gak jadi perhatian." Ucap Ben yang mulai memasuki mode curhat.

"Pantes lo udah gak pernah usil sama adek kelas. Ternyata ada yang lebih seru ya? Lebih menarik ganggu Reuben daripada yang lain?"

Lebih menarik? Ben tidak terpikir kesana. Selama ini dia bergerak secara naluri untuk membuat kesal anak itu. Reuben pun juga sering mengganggu, jadi menurutnya tidak ada yang salah jika dia melakukan hal yang sama.

"Dia selalu buat gue marah, lo ngerti kan?" Ben bersandar pada dinding koridor.

"Alasannya?"

Ben membuang napas gusar. Dia berusaha fokus memperhatikan murid yang berlalu lalang tapi otaknya tetap bekerja untuk memikirkan Reuben.

Kepalanya menggeleng menanggapi pertanyaan Timur. Dia juga tidak tau alasan yang pasti kenapa Reuben bisa selalu membuatnya darah tinggi.

Jika diingat lagi, mereka selalu bertengkar karena suatu hal kecil yang tidak sepantasnya diributkan. Mereka sudah dewasa, tau jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.

"Gue gak tau sih kenapa lo bisa gak paham sama diri sendiri. Seharusnya tiap orang seenggaknya tau apa yang dia mau, apa yang dia alamin." Jelas Timur.

"Lo sama sekali gak cocok ceramahin gue, Tim." Ben melengos sembari berlalu.

"Eh, mau plester lagi gak?"

"Gak usah!" Teriaknya.

Timur senyum-senyum sendiri melihat temannya yang kelimpungan karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan dirinya.

Ini baru beberapa minggu, hampir sebulan jika dihitung dari awal Ben dan Reuben mulai kenal dan bertengkar. Tapi salah satu dari mereka sudah dibuat kalang kabut dan yang satunya hampir meneteskan air mata.

Mereka berdua sedang mengalami bagaimana rasa yang tidak pernah ada, sesuatu yang langka hinggap dalam diri. Tentu rumit untuk dipahami, hanya perlu dijalankan agar tau apa yang akan terjadi.

•-•

Reuben keluar dari kamar mandi setelah dia menyegarkan diri dengan membasuh badannya dengan air hangat.

Di depan cermin dia merapikan rambutnya yang terlihat kering, karena tadi dia tidak keramas. Hanya sabunan untuk sekedar menghilangkan keringat.

Arah bola matanya melihat plester yang masih menempel di keningnya. Jemarinya bergerak ingin mencabut namun berhenti.

"Kenapa gue harus sedih di depan dia? Kenapa gue bisa mellow gitu? Sumpah, jadi risih sama kelakuan sendiri."

Pintu kamar terbuka dan sosok Mama muncul disana. Mengenakan daster yang jumlahnya bisa satu lemari. Memang dia hobi mengoleksi baju longgar itu, padahal yang dikenankan juga itu-itu saja.

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang